Friday, 12 November 2010

Bima - Dorna - Dewaruci

Bima - Dorna - Dewaruci


Dewaruci adalah dewa kejujuran dan keberanian. Cerita ini mengisahkan tentang falsafah hidup yang mendalam, dimana sifat dan karakter yang baik diperankan oleh Bima atau Bratasena, saudara kedua Pandawa Lima dari kerajaan Amarta sedangkan sepupu Bima dari kerajaan Astina mempunyai seratus saudara kurawa yang memiliki sifat jahat. Kurawa selalu iri kepada Pandawa karena selalu mengalahkan mereka dalam segala hal. Diantara keluarga Pandawa dan Kurawa ini memiliki seorang Guru ( orang yang mempunyai peran sebagai penasehat agama dan juga sebagai guru) yaitu Pendeta Dorna. Sejak Dorna tinggal di Astina, Kurawa mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada Pandawa, dan oleh karena Bima selalu mengupayakan kebaikan untuk seluruh umat manusia, Kurawa meminta Guru Dorna memberi tugas yang mustahil kepada Bima untuk mencari “Tirta Amerta” yaitu Air Kehidupan.
Karena ketaatannya, dan selalu patuh kepada Sang Guru (Pandita Dorna), Bima mulai mencari “Tirta Amarta”. Dalam petualangannya, Bima bertarung melawan Raksasa yang bernama Rukmana dan Rukmakala dan dapat dikalahkan. Kemudian Bima menuju dasar laut dan bertarung melawan Naga raksasa, keletihan dan keraguan menghinggapinya, saat itulah Bima melihat Dewaruci dan bercerita bahwa dia diperintah Sang Guru untuk mencari “Tirta Amarta”. Untuk mendapatkannya, Dewaruci memerintahkan Bima masuk ke dalam raganya yang kecil bila dibandingkan dengan badan Bima.
Akhirnya di dalam raga Dewaruci, Bima menemukan kebenaran sebagaimana Dewaruci itu sendiri. Dewaruci sebenarnya adalah penjelmaan dari Sang Hyang Wenang, Dewa yang paling tinggi tingkatannya.Dalam upayanya mencari kebenaran, Bima harus melewati banyak rintangan atau halangan, tapi berkat ketabahan dan keberaniannya, akhirnya Bima mendapatkan apa yang dia cari.



Hatiku selembar daun...

MARI BELAJAR BAHASA INDONESIA DI MALAYSIA??!!

MARI BELAJAR BAHASA INDONESIA DI MALAYSIA??!!



Subject: Re: [AusAID Alumni] Do you care about Bahasa Indonesia?

Dear Alumni,

Malaysian Department of Tourism is currently offering sponsorship to Australian school teachers of Indonesian to visit the country fro free topractically browse some cultural aspects like batik, ground tours, etc. They also try to promote Indonesian language teaching services for Australianstudents of Indonesian. We all know Australian students and teachers areofficially allowed to travel to Indonesia, like they did during thepre-bombing incidents in may parts of Indonesia - security reasons,politically correct. I guess Malaysia should thank to Mr. N. Topp. Hah?

In 2006 a travel agent in Melbourne promote 'Let's learn Indonesian inMalaysia' campaign to Australian students. In the July 2007 InternationalBIPA (Indonesian as a Second Language) Workshop in Jakarta I voiced verystrongly to the government to provide Indonesian language teaching(learning) scholarship to Australian teachers and students of Indonesian. Sofar, nothing has happened. Do you care?

For more information about BIPA programs in Indonesia visitwww.apbipabali.org.




From: alumni-bounces@adsindonesia.or.id[mailto:alumni-bounces@adsindonesia.or.id] On Behalf Of Nyoman RiasaSent: Tuesday, September 08, 2009 5:54 PMTo: alumni@adsindonesia.or.id.

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)


Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.

Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru

Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.

Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).

Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).

Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.

Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).

Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong

Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya

Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya

Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan

Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.




Hatiku selembar daun...

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (2)


Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar

Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).

Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat

Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak

Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat

Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai

Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).

Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya

Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar

Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Kesimpulan

Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari


A Morning Westward Walk

Sapardi Djoko Damono


waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.




Hatiku selembar daun...

Semangkuk Mie Kuah

Semangkuk Mie Kuah

Oleh: Tidak Diketahui
Diterjemahkan: Li Kuei Chuen


Pendahuluan:
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.

Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko).

Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.

Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar - bercorak kotak - yang telah usang.

"Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan salam.

Wanita itu berkata dengan takut-takut: "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah ?"

Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang.

"Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur: "Semangkuk mie kuah !"

Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu.

Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali !"

Sang kakak berkata: "Ma, kamu juga coba-coba dong!"

Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih!" serta membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.

Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.

"Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah ?"

"Tentu, tentu, silakan duduk !"

Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah!".

Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan.

Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami: "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?"

"Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak."

Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih.

Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko.

"Sangat wangi... sangat hebat... sangat nikmat!"

"Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!"

"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."

Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.

"Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru."

Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama.

Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai berperasaan tidak tenang.

Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.

Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.

Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya.

"Silakan masuk! Silakan masuk " Istri majikan toko menyambut dengan hangat.

Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut berkata: "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?"

"Baik, silakan duduk!"

Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie".

Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.

"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !"

"Terima kasih !"

"Mengapa ?"

"Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."

"Ya, hal ini kami tahu!" Sang kakak menjawab.

Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan.

"Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini !"

"Oh, mama, benarkah ?"

"Ya, benar, karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa."

"Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam."

"Saya juga ingin terus mengantar koran."

"Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!"

"Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."

"Benar ada hal ini ? Lalu ?"

"Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)",

Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."

"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun."

"Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat.. 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."

"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor 1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung! Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!"

Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.

"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata."

"Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?"

"Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan."

"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin untuk memperhatikan adik saya."

Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie.

Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!"

Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul.

Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya.

Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.

Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.

Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba... terbuka kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.

Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.

Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan: "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?"

Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu.

Sang suami di balik dapur juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut dan mengatakan: "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar."

"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo."

"Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."

Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata: "Selamat datang! Silakan... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah."





Hatiku selembar daun...

Laki-Laki Yang Membenci Isterinya

Laki-Laki Yang Membenci Isterinya



Lima tahun usia pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit.
Semakin hari semakin tidak ada kecocokan diantara kami. Kami bertengkar
karena hal-hal kecil. Karena Ellen lambat membukakan pagar saat aku
pulang kantor. Karena meja sudut di ruang keluarga yang ia beli tanpa
membicarakannya denganku, bagiku itu hanya membuang uang saja.

Hari ini, 27 Agustus adalah ulan tahun Ellen. Kami bertengkar pagi
ini karena Ellen kesiangan membangunkanku. Aku kesal dan tak mengucapkan
selamat ulang tahun padanya, kecupan di keningnya yang biasa kulakukan
di hari ulang tahunnya tak mau kulakukan. Malam sekitar pukul 7, Ellen
sudah 3 kali menghubungiku untuk memintaku segera pulang dan makan malam
bersamanya, tentu saja permintaannya tidak kuhiraukan.

Jam menunjukkan pukul 10 malam, aku merapikan meja kerjaku dan
beranjak pulang. Hujan turun sangat deras, sudah larut malam tapi jalan
di tengah kota Jakarta masih saja macet, aku benar-benar dibuat kesal oleh
keadaan. Membayangkan pulang dan bertemu dengan Ellen membuatku semakin
kesal! Akhirnya aku sampai juga di rumah pukul 12 malam, dua jam perjalanan
kutempuh yang biasanya aku hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai di
rumah.

Kulihat Ellen tertidur di sofa ruang keluarga. Sempat aku berhenti
di hadapannya dan memandang wajahnya. "Ia sungguh cantik" kataku dalam
hati, "Wanita yang menjalin hubungan denganku selama 7 tahun sejak duduk di
bangku SMA yang kini telah kunikahi selama 5 tahun, tetap saja cantik". Aku
menghela nafas dan meninggalkannya pergi, aku ingat kalau aku sedang
kesal sekali dengannya.

Aku langsung masuk ke kamar. Di meja rias istriku kulihat buku itu,
buku coklat tebal yang dimiliki oleh istriku. Bertahun-tahun Ellen
menulis cerita hidupnya pada buku coklat itu. Sejak sebelum menikah, tak pernah
ia ijinkan aku membukanya. Inilah saatnya! Aku tak mempedulikan Ellen,
kuraih buku coklat itu dan kubuka halaman demi halaman secara acak.



14 Februari 1996. Terima kasih Tuhan atas pemberianMu yang berarti
bagiku, Vincent, pacar pertamaku yang akan menjadi pacar terakhirku.

Hmm. aku tersenyum, Ellen yakin sekali kalau aku yang akan menjadi
suaminya.



6 September 2001, Tak sengaja kulihat Vincent makan malam dengan
wanita lain sambil tertawa mesra. Tuhan, aku mohon agar Vincent tidak
pindah ke lain hati.

Jantungku serasa mau berhenti...



23 Oktober 2001, Aku menemukan surat ucapan terima kasih untuk
Vincent, atas candle light dinner di hari ulang tahun seorang wanita
dengan nama Melly. Siapakah dia Tuhan? Bukakanlah mataku untuk apa yang Kau
kehendaki agar aku ketahui.

Jantungku benar-benar mau berhenti. Melly, wanita yang sempat dekat
denganku disaat usia hubunganku dengan Ellen telah mencapai
5 tahun. Melly, yang karenanya aku hampir saja mau memutuskan hubunganku
dengan Ellen karena kejenuhanku. Aku telah memutuskan untuk tidak
bertemu dengan Melly lagi setelah dekat dengannya selama 4 bulan, dan memutuskan
untuk tetap setia kepada Ellen. Aku sungguh tak menduga kalau Ellen
mengetahui hubunganku dengan Melly.



4 Januari 2002, Aku dihampiri wanita bernama Melly, Ia menghinaku
dan mengatakan Vincent telah selingkuh dengannya. Tuhan, beri aku
kekuatan yang berasal daripadaMu.

Bagaimana mungkin Ellen sekuat itu, ia tak pernah mengatakan apapun
atau menangis di hadapanku setelah mengetahui aku telah
menghianatinya. Aku tahu Melly, dia pasti telah membuat hati Ellen
sangat terluka dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya.
Nafasku sesak, tak mampu kubayangkan apa yang Ellen rasakan saat itu.



14 Februari 2002, Vincent melamarku di hari jadi kami yang ke-6.
Tuhan apa yang harus kulakukan? Berikan aku tanda untuk keputusan yang
harus kuambil.



14 Februari 2003, Hari minggu yang luar biasa, aku telah menjadi
Nyonya Alexander Vincent Winoto. Terima kasih Tuhan!



18 Juli 2005, Pertengkaran pertama kami sebagai keluarga. Aku harap
aku tak kemanisan lagi membuatkan teh untuknya. Tuhan, bantu aku agar
lebih berhati-hati membuatkan teh untuk suamiku.



7 April 2006, Vincent marah padaku, aku tertidur pulas saat ia
pulang kantor sehingga ia menunggu di depan rumah agak lama.
Seharian aku berada mall mencari jam idaman Vincent, aku ingin
membelikan jam itu di hari ulang tahunnya yang tinggal 2 hari lagi. Tuhan, beri
kedamaian di hati Vincent agar ia tidak marah lagi padaku, aku tak akan
tidur di sore hari lagi kalau Vincent belum pulang walaupun aku lelah.

Aku mulai menangis, Ellen mencoba membahagiakanku tapi aku malah
memarahinya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Jam itu adalah jam
kesayanganku yang kupakai sampai hari ini, tak kusadari ia membelikannya
dengan susah payah.



15 November 2007, Vincent butuh meja untuk menaruh kopi di ruang
keluarga, dia sangat suka membaca di sudut ruang itu. Tuhan, bantu aku
menabung agar aku dapat membelikan sebuah meja, hadiah Natal untuk
Vincent.

Aku tak dapat lagi menahan tangisanku, Ellen tak pernah mengatakan
meja itu adalah hadiah Natal untukku. Ya, ia memang membelinya di malam
Natal dan menaruhnya hari itu juga di ruang keluarga.

Aku sudah tak sanggup lagi membuka halaman berikutnya. Ellen sungguh
diberi kekuatan dari Tuhan untuk mencintaiku tanpa syarat.
Aku berlari keluar kamar, kukecup kening Ellen dan ia terbangun.
"Maafkan aku Ellen, Aku mencintaimu, Selamat ulang tahun."



Source: Dari Milis Tetangga.








Hatiku selembar daun...

Adik Yang Menyayangi Kakaknya

Adik Yang Menyayangi Kakaknya


Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times”


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri ima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”

yah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kkalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, ” Ada seorang ppenduduk dusun menunggumu di luar sana !” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit.. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.





Hatiku selembar daun...

BAGAIMANA MENGETAHUI KARAKTER LAKI-LAKI??!!

BAGAIMANA MENGETAHUI KARAKTER LAKI-LAKI??!!



Lelaki Ramah :
Ngajak ngobrol sambil pipis, sampe temennya nggak bisa
pipis

Lelaki Gaul :
Selalu ikut temenya ke toilet, walaupun dia nggak
pipis

Lelaki Pembenci :
Sesudah pipis terus ngeludahin pipisnya

Lelaki Komunikatif :
Pipis sambil ketik SMS

Lelaki Sibuk :
Selalu nunggu sampai kebelet,….terus
erbirit-birit
lari ke toilet

Lelaki Enjoy :
Pipis sambil merem melek

Lelaki Hemat waktu :
Cuma buka resleting, dikeluarin, terus langsung
pipis

Lelaki Arogan :
Pipisnya sambil kedua tangan tolak pinggang

Lelaki Pemalu :
Jika merasa dilihat orang lain pipisnya nggak
keluar,
tapi pura-pura nyiram

Lelaki Malu-Maluin :
Pipis dicelana

Lelaki Pemabuk :
Jempol tangan kiri dipegang dengan tangan kanan,
lalu
pipis dicelana

Lelaki Edan :
Memakai Celana yang habis dipipisin

Lelaki Romantis :
Pipisnya sambil mendesah aaaahh….

Lelaki Sial :
Maunya pipis air, yang keluar malah batu

Lelaki Percaya diri :
Habis pipis, anunya dibawa jalan ke wastafel, terus
cebok di wastafel.




Hatiku selembar daun...

NOKTURNO

NOKTURNO

Sapardi Djoko Damono



Kubiarkan cahaya bintang memilikimu

Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya

Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu …

Entah kapan kau bisa kutangkap

Thursday, 11 November 2010

HATIKU SELEMBAR DAUN

HATIKU SELEMBAR DAUN

Sapardi Djoko Damono



hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



Hatiku selembar daun...

PERTAPA

PERTAPA

Sapardi Djoko Damono




Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.




Hatiku selembar daun...

TEGAR

TEGAR

Rieke Dyah Pitaloka




Apakah tegar itu
seperti nyiur yang bergeming dalam badai,
tak beranjak dari hempasan ombak
Ataukah seperti tetes air yang tak henti
jatuh tetes demi tetes setiap waktu
mampu melubangi bebatuan
Ataukan nyanyian para pekerja
diantara deru mesin yang selalu terjaga
Barangkali…




Hatiku selembar daun...

Seorang Kakek dan Anaknya yang 'Berbakti'

Seorang Kakek dan Anaknya yang 'Berbakti'


Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.


Source: Dari Milis Tetangga




Hatiku selembar daun...

Separuh Jiwaku Pergi

Separuh Jiwaku Pergi


Separuh Jiwaku Pergi
Memang indah semua
Tapi berakhir luka

Reff:
Benar ku mencintaimu
Tapi tak begini
Kau khianati hati ini
Kau curangi aku

Kau bilang tak pernah bahagia
Selama dengan aku
Itu ucap bibirmu
Kau dustakan semua
Yang kita bina
Kau hancurkan semua




Hatiku selembar daun...

Salah Kaprah Paten Budaya

Salah Kaprah Paten Budaya


Tajuk Rencana Kompas (3/10) berjudul "Batik Milik Dunia" berisi: "Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional" . Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.

Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya.

Jadi, pernyataan "perlu mematenkan seni budaya" adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung. Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).

Distorsi ini sangat berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain, tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan paten.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan "Wayang stories borrow characters from Indian epics and heroes from Persian tales". UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.


Solusinya

Pertama, media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating. Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.

Ketiga, database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru seni budaya Indonesia.

Kelima, Indonesia bersama negara-negara berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan sumber genetika.
Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang cerdas.




Salah Kaprah Paten Budaya
KOMPAS, Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIB
Oleh Arif Havas Oegroseno
Arif Havas Oegroseno Alumnus Harvard Law School

Source: alumni-bounces@adsindonesia.or.id




Hatiku selembar daun...

Bintang

Bintang

Arif Rohman

Malam merambat mendekat. Malu-malu nampak giginya yang hitam. Dari sela-sela mulutnya bertetesan air yang kemudian merdeka menjadi embun-embun pagi. Semua itu disaksikan oleh bintang. Sayang bintang kemerlip itu telah hilang. Engkau telah mengambilnya dan langsung mengantonginya. Dan engkaupun meringis gembira sambil berucap, 'Asyik tak ada saksi...'



Armidale, 28 June 2009.



Hatiku selembar daun...

Kisah Si Rusa Emas

Kisah Si Rusa Emas



Dikisahkan ada seorang raja yang sangat serakah. Supaya diri dan kerajaannya semakin kaya, ia akan berbuat apa saja. Suatu hari ia mendengar, bahwa di hutan nun jauh di sana ada seekor rusa emas. Katanya setiap kali rusa itu menghentakkan kakinya, satu keping emas akan jatuh di depannya. Raja yang serakah itu sangat ingin memiliki rusa emas ajaib itu. Sudah puluhan prajurit beliau kirim untuk menangkap rusa emas itu, tapi selalu tidak berhasil. Karena gagal, ya kepalanya dipancung.

Akhirnya raja memerintahkan panglimanya sendiri untuk menangkap rusa itu. Ia terkenal sangat baik, suka menolong dan murah hati.Selama berbulan-bulan ia berada di hutan, tapi tidak sekalipun melihat rusa ajaib itu. Ia hampir putus asa. Suatu hari, tiba-tiba lewat di depannya seekot rusa yang dikejar oleh tiga orang pemburu dan anjing mereka. Rusa itu dalam keadaan luka parah. Selain gembira karena rusa itu adalah rusa emas yang dicari-carinya, ia juga terkejut, sebab ia berlari kepadanya dan minta disembunyikan dari kejaran tiga orang pemburu dan anjing-anjingnya. “Bantu saya. Sekali kelak saya akan membantumu”, pintanya. Panglima itu langsung memapah si rusa masuk ke sebuah gua di dekatnya. Bahkan ia juga menjaga di mulut gua. Lalu dengan pemburu yang merangsek masuk, panglima itu menghadapinya. Perkelahian tiga lawan satu terjadi. Si rusa emas menyaksikannya penuh kagum terhadap pelindungnya. Walau penuh luka, panglima berhasil menang. Si rusa emas pun bertanya, “Mengapa Anda berada di hutan ini?” Panglima menjawab pertanyaan itu terus terang, dan berkata, “Saya akan pulang dan melaporkannya kepada raja, bahwa saya gagal menangkap rusa yang dirindukannya. Kalau karena itu saya dipancung, saya siap”. Mendengar itu, si rusa emas berkata, “Paduka telah menolong saya. Sekarang giliran saya untuk menolong paduka. Marilah kita pergi menemui sang raja!”

Ketika raja yang serakah itu melihat panglimanya pulang dan membawa rusa emas, hatinya bersorak senang. Rusa emas kini dijadikan dewa kekayaan, dan semua rakyat disuruh menyembahnya. Dan raja sendiri minta, supaya rusa emas itu mulai menurunkan emas bagi kerajaannya. Tapi… sebelum rusa emas memenuhi keinginan raja, ia mengajukan satu syarat, “Saya akan menurunkan emas, tapi baginda raja tidak pernah boleh menghentikannya. Kalau baginda menyuruh berhenti, maka semua emas itu akan berubah menjadi abu”. Dengan gembiranya raj berkata, “Tentu… tentu… saya tidak akan menyuruh berhenti”.

Maka mulailah si rusa emas menghentakkan kakinya. Dan setiap kali ia melakukan itu, sekeping emas jatuh di depan kaki baginda. Tumpukan keping emas makin lama makin tinggi menggunung, sampai setinggi kepala raja dan menutupi seluruh badannya. Karena panik, raja berteriak, “Berhenti… berhenti…”. Seketika itu juga semua emas itu berubah menjadi abu dan raja mati terkubur abu tanah yang menggunung itu.



Hatiku selembar daun...