Saturday 4 December 2010

Sedulur Sikep Memandang Negara dan Penegakan Hukum

Batas desa sudah tampak. ”Anda memasuki Desa Sukolilo”. Demikian sambutan pertama yang tertera pada dua tembok putih yang mengapit jalan aspal yang sudah tak rata. Setelah berkendaraan selama lebih kurang 40 menit ke arah selatan ibu kota Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akhirnya saya dan dua teman sampai juga di tanah para Sedulur Sikep.

Di sini, sekitar 200 kepala keluarga komunitas Sikep atau lebih dikenal dengan masyarakat Samin tinggal. Mereka adalah pengikut Samin Surosentiko alias Raden Kohar (1859-1914), pencetus gerakan sosial melawan Belanda dengan cara menentang segala aturan dan kewajiban yang dibuat pemerintah kolonial kala itu, di antaranya menolak membayar pajak.

Beberapa ciri/identitas perlawanan digunakan sejak zaman Belanda, seperti tidak bersekolah, tidak memakai peci, tetapi memakai ikat kepala (mirip orang Jawa zaman dahulu), tak memakai celana panjang (tetapi memilih celana selutut), tidak berpoligami, tidak berdagang, dan menolak kapitalisme.

Hingga akhir Oktober lalu, atau lebih dari 100 tahun kemudian, ciri-ciri itu masih bertahan. Bocah-bocah Sikep tak mengikuti pendidikan formal meski bukan berarti mereka tak terdidik. Celana selutut dan ikat kepala pun masih terlihat. Prinsip siji kanggo salawase atau satu untuk selamanya masih diucapkan setiap anggota Komunitas Sikep ketika ditanya mengenai perkawinan.

Mereka pun tetap tidak berdagang, konsisten hidup sebagai petani. Maka, tak heran saat beberapa waktu lalu mereka meradang saat sebagian lahannya di lereng Pegunungan Kendeng bakal ditambang dan dijadikan lahan pabrik semen oleh PT Semen Gresik. Mereka hidup berdampingan dan harmonis dengan alam dan sesama. Kejujuran dan kebenaran adalah nilai utama dan ajaran tata laku keseharian yang turun-temurun diwariskan leluhur.

Seorang tokoh muda Sedulur Sikep, Gunretno, mengungkapkan, ada lima prinsip dasar (adeg-adeg) yang ditanamkan sejak kecil, yakni jangan memiliki perasaan drengki srei, panasten, dakwen, kemeren. Selain itu, mereka juga selalu diajarkan untuk tidak bertindak bedog colong, pethil jumput, dan nemu.

Orang Sikep tidak boleh memiliki rasa dengki, iri, selalu curiga.

Orang Sikep tidak boleh mencuri (bedhog colong), mengambil sesuatu yang bukan haknya (methil), dan bahkan menemukan sesuatu yang bukan miliknya (nemu).

Menurut Gunretno, ajaran itu masih dipegang teguh Sedulur Sikep. Ini setidaknya tergambar ketika beberapa waktu lalu seorang Sedulur Sikep menemukan kalung emas di tengah jalan. Kalung itu tidak diambil, tetapi malah ditutupi dengan batu agar tidak dilihat orang yang bukan pemiliknya. Sedulur Sikep itu kemudian mencari tahu pemilik perhiasan, lalu memberitahukan lokasi kalung itu.

Suasana aman sangat kentara di lingkungan mereka. Rumah kosong ditinggal begitu saja dengan pintu terbuka. Tamu tidak akan kehilangan barang meskipun tertinggal. Pemilik rumah akan menyimpannya, kemudian dikembalikan ketika yang bersangkutan datang kembali.

Gunretno juga menegaskan, tak pernah ada pencurian di komunitasnya. Ia pun bahkan belum pernah mendengar ada warga Sikep yang didapati berbuat kriminal, baik dalam lingkungannya maupun ketika mereka keluar dari komunitasnya. Orang disebut telah keluar dari Sedulur Sikep ketika memutuskan untuk sekolah, berdagang, dan melakukan hal-hal yang dilarang leluhur.

”Setahu saya, baru dua kali ada Sedulur Sikep yang berurusan polisi. Yang pertama, dulu ketika Mbah Samin ditangkap Belanda karena menolak membayar pajak dan tahun lalu ketika beberapa warga ditangkap polisi saat aksi menolak pembangunan pabrik semen,” ujar Gunretno.

Tahun lalu polisi menangkap sembilan warga yang diduga terlibat aksi penyanderaan kendaraan roda empat dalam aksi penolakan pabrik semen di Pati. Penangkapan itu membuat penolakan kian mengental sampai akhirnya PT Semen Gresik membatalkan peletakan batu pertama pembangunan pabrik dan merelokasinya ke Tuban, Jawa Timur.

Bagaimana jika ada yang melanggar adeg-adeg itu? Menurut Gunretno, masyarakat Sikep tak akan menjatuhkan sanksi apa pun. Namun, rata-rata pelanggar adeg-adeg akan malu sendiri. ”Orang mungkin hanya menjadi tidak percaya lagi,” ujarnya.

Begitu kentalnya ajaran itu melekat di kaum Sikep. Karjo (23) dan Agus Purwanto (20), misalnya, tak pernah berpikir untuk berbuat di luar apa yang diajarkan orangtuanya. Pilihan profesi tetap petani. Sikap hidup yang diupayakan sejauh mungkin menghindari drengki srei, dakwen panasten, dan methil jumput serta nemu.

Karjo bahkan sangat menyadari pilihan profesinya sebagai petani tidak menjanjikan kekayaan duniawi (sugih bondho). ”Kami ini disuruh sugih eling (selalu ingat/waspada),” ujar Karjo lagi.

Bagi Karjo, belajar dari kenyataan dan kehidupan adalah sekolah yang sebenarnya. Belajar nrimo, berupaya mencapai keinginan yang terukur, dijalaninya beberapa tahun belakangan. Ia menceritakan upayanya saat ingin memiliki telepon genggam dan sepeda motor. Saat itu ia menebar 200 pancing di sungai selama 16 hari untuk membeli telepon genggam.

”Saya juga pernah merantau ke Kalimantan selama 2,5 bulan. Terkumpul uang Rp 5,5 juta. Saat sudah mendapat hasil yang cukup untuk membeli sepeda motor, saya pulang,” kata Karjo, yang pernah bekerja sebagai pencari emas. Ia menambahkan, ”Sekarang saya lagi kosong, tak punya keinginan apa-apa.”

Kritis dan paham hukum

Meski setiap hari bergulat dengan lumpur dan tanah, tidak berarti membuat Sedulur Sikep tak mengikuti perkembangan politik dan hukum di negeri ini. Sedulur Sikep tak ketinggalan isu, bahkan ketika bicara penegakan hukum, perilaku pejabat, dan pemilu.

Bincang-bincang kritis rasanya sangat biasa dijumpai di Sukolilo. Warga sadar akan persoalan demokrasi, negara, dan kesejahteraan. Tak cuma di rumah Gunretno, ungkapan kritis juga bergaung di Omah Kendeng. Rumah berbentuk limas yang didirikan sebagai pusat kegiatan bagi warga lereng Pegunungan Kendeng di Dukuh Ledok, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Rumah pusat perlawanan masyarakat Sikep dan warga sekitarnya.

Seperti terjadi pada Sabtu (24/10), lima pemuda Sikep tengah duduk melingkar di atas anyaman bambu yang digelar di lantai batu Omah Kendeng. Mereka duduk persis di bawah rangka utama rumah, di bawah tiang kayu jati yang berdiri menyangga bangunan seluas lebih dari 100 meter itu. Tidak lupa, sebotol kendi hitam (tempat air minum) menemani obrolan itu.

Silih berganti warga yang datang dan pergi. Kian malam obrolan kian seru, terutama ketika Slamet, warga setempat bukan Sikep, turut bergabung di Omah Kendeng. Slamet mempertanyakan gagasan kesejahteraan versi pejabat negara. Ia mengkritik pejabat pemerintah yang seolah tahu bagaimana menyejahterakan rakyat.

”Rerasan” semakin gayeng (meriah) ketika bicara kemerdekaan. Slamet dan yang lain merasa belum merdeka, terutama ketika mereka merasa hanya menjadi buruh di negeri sendiri dan terusik di tanah sendiri. Rencana pembangunan pabrik semen di lahan mereka dirasa mengusik hak atas kepemilikan tanah mereka.

Icuk, salah satu anak tokoh Sikep Mbah Tarno (almarhum), mengkritik pejabat yang memaknai merdeka sebagai merdhil koyone. Artinya, seorang ketika menjadi pejabat bukannya memikirkan warganya, tetapi mencari keuntungan untuk menutup modal yang sudah dikeluarkan.

Banyak nilai leluhur yang dilupakan, terutama oleh orang-orang politik yang dinilainya tega ”memolitiki” bangsa sendiri. ”Kamardikan kuwi kudu iso naati perikemanusiaan. La, wong karo bangsane dhewe dho tegel-tegelan kok dikon nindakake perikemanusiaan (Merdeka itu seharusnya bisa menaati perikemanusiaan. Akan tetapi, bagaimana, dengan bangsa sendiri saja tega kok disuruh berperikemanusiaan),” kata Icuk.

Dalam hal penegakan hukum, Icuk bahkan memuji pemerintah kolonial Belanda. ”Zaman Belanda kuwi ono wong mek godhong jati wae ditahan. Nek saiki, pencurian, ojo kok godhonge, dangkelane wae entek,” kata dia.

Artinya, pada zaman Belanda orang yang mencuri daun jati saja ditahan. Beda dengan sekarang, apalagi cuma daunnya, bahkan pencurian hingga ke akar-akar jati (dangkelane) pun tidak ditahan. Bagi Icuk, dalam hal penegakan hukum, Belanda jauh lebih tegas.

Saat ini, tambahnya, pembuat undang-undang (UU) justru menjadi pelanggar UU. Pembuat UU justru mengajari orang yang tak mengerti UU untuk melanggarnya.

Apa yang dapat dipelajari dari Sedulur Sikep? Mengapa masyarakat Sikep relatif patuh pada ajaran leluhur meski tak pernah menjadi hukum tertulis. Ojo bedhog colong, methil, bahkan nemu. Ojo drengki srei, panasten, dakwen, dan kemeren.

Membayangkan masyarakat mengadopsi nilai-nilai Samin barangkali merupakan hal yang mustahil. Yang menarik dan dapat diambil hikmahnya adalah ketika setiap individu memahami hukum tak tertulis itu dan berupaya menerapkannya.

Asep Rahmat Fajar, peneliti Indonesia Legal Roundtable yang sedang menempuh studi di International Institute for Sociology Law di Spanyol, menjelaskan, gap antara aturan tertulis dan pelaksanaannya seperti yang ada saat ini lebih disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pembangunan subyek hukum (manusia). Padahal, penerapan hukum membutuhkan budaya hukum yang terpatri di dalam masyarakat.



http://cetak.kompas.com/read/2009/11/03/03221139/sedulur.sikep.memandang.negara.dan.penegakan.hukum

Tentang Sedulur Sikep

“Mengapa pintu rumah si Mbah dibiarkan terbuka?”
“Kenapa mesti ditutup kalau tidak ada daun pintu?,” jawab si Mbah
“Mengapa tidak diberi daun pintu?”
“Kenapa mesti diberi daun pintu kalau tidak mau ditutup?”
“Bukankah jika diberi daun pintu, maka pintu bisa tertutup? “
“Kenapa harus ditutup kalau maunya dibiarkan terbuka,” jawab si Mbah lagi

Terkesan mbulet dan ngeyel kan?
Itulah stereotype orang-orang yang dikenal sebagai orang Samin.

Kalau anda melihat KTP, maka selain nama, jenis kelamin, disertakan pekerjaan dan pendidikan.

Namun bagi orang Samin, keterangan mengenai agama umumnya dikosongkan. Ini aneh sementara orang kita sudah memiliki standar bahwa orang yang mengosongkan kolom kepercayaan bakalan dituding jadi pengacau dunia dan apalagi akhirat. Dulu malahan masuk kotak “atheist“ – dan resikonyo rumahnya dibakar, dan anak cucunya dikucilkan masyarakat.

Orang Samin atau Sedulur Sikep ini, dikenal sebagai pemberontak tanpa kekerasan terhadap kebijaksanaan Belanda. Mereka yang hidup diantara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini berani membantah semua yang diperintahkan Belanda.

Dinamakan Samin sebab pemimpinnya yang terkenal adalah Samin Surantiko.

Gun Retno seorang tokoh Samin yang hidup di Surabaya mengatakan abhwa kesehariannya mereka berbahasa Jawa sebab kalau berbahasa Indonesia mereka takut membuat kesalahan. Suku dengan ciri berpakaian hitam dan kepala bebat kepala ini kepada anak-anaknya hanya mengajarkan filsafat hidup. Lantas bagaimana mereka belajar membaca dan menulis. Kalau ingin ilmu tersebut mereka bisa bertanya kepada teman-temannya.Tapi jangan lupa, kami juga punya TV, bahkan dalam mengolah pertanian kami pakai traktor, akan tetapi tidak berlebihan. Tambah Gun Retno.

Dari Gatra 5 Nove 2008 saya peroleh keterangan sekali waktu rombongan PWI memberi 50 bungkusan sembako. Tiga pekan kemudian, sembako tadi masih menumpuk di halaman rumah Hardjo Kadri sang pemimpin. Alasannya kaum Samin ada 170KK, lantas kalau cuma diberi 50Sembako apakah mereka akan saling sikut, atau menginjak temannya sampai tewas seperti yang sering kita saksikan dalam antrean sembako atau uang? – Kaum yang sering dilecehkan sebagai “tak beragama” atau animisme ini menunjukkan sikap watak tak dibuat-buat. Daripada berebutan, lebih baik semua tidak mendapatkan sembako. Menyadari kesalahan, pak Bupati membeli 120 bingkisan sembako, barulah mereka merasa berhak menerima bingkisan tersebut.

Anda harus membayangkan Indonesia pasca Reformasi, disaat masyarakat susah, banyak orang marah lalu menjarah, masih ada warga masyarakat yang begitu jujur.




http://mimbarsaputro.wordpress.com/2008/03/08/sedulur-sikep/

Gunritno : Orang Sedulur Sikep/Samin

Gunritno : Orang Sedulur Sikep/Samin



Saya merasa sekarang ini banyak orang salah kaprah. Sebelum ada namanya Indonesia, sebelum ada agama, di Pati Kudus, blora (Jawa Tengah), sedulur sikep sudah punya ageman, pedoman hidup. Sudah lengkap dengan ajaran dan pranata sosialnya. Sedulur sikep sudah menganut ajaran bahwa sesama manusia dianggap saudara, tidak membedakan kulit, tempat, agama atau kepercayaan.

Tapi, setelah Indonesia berdiri, tiba-tiba kami, sedulur sikep, dianggap orang asing. Setelah ada namanya agama resmi, kami dianggap tidak punya agama resmi. Sampai-sampai perkawinan sedulur sikep dinilai tidak sah.

Saya masih ingat, pada 1997, bapak ibu serta simbah buyut kami perkawinannya dianggap tidak sah lantas pemerintah mengadakan perkawinan massal. Sedulur sikep dipaksa ikut, dipaksa mengikuti aturan perkawinan salah satu agama yang disahkan pemerintah. Terus terang saya heran. Soalnya sedulur sikep sudah punya aturan tersendiri tentang perkawinan.

Kami akui memang, sekarang kondisi sudah berubah atau mengarah ke sedikit perubahan. Tapi tak membuat lebih jelas buat kami. Di satu sisi, yang namanya indonesia katanya mengakui keragaman. Tapi, kenyataanya, pemerintah masih menggunakan aturan yang sempit, bahwa hanya lima agama yang diakui.

Terbukti saat kami mengurus KTP. Saya pertama minta blanko kepada Pak Lurah. Di dalam Blanko itu, selain nama dan tempat tinggal, juga dicantumkan agama. Sudah ada lima agama di situ, jadi tinggal pilih salah satu. Saya ditanya Pak Lurah, “Agamamu apa” saya agak heran. Sebab saya pikir, Pak lurah sebenarnya sudah tahu, kenapa mesti bertanya. Tapi saya tetap menjawab, “Agama saya Adam”.

Pak lurah lalu bilang, “Agama yang itu tidak ada. Kalau kau mau ngurus KTP, harus pilih salah satu agama yang dicantumkan di balnko ini. “Saya kemudian minta, kalau begitu kolom agama dikosongkan saja. Tapi pak lurah tetap mencantumkan salah satu agama di KTP itu. Dia tulis Islam.

Maka, apa boleh buat, daripada debat terus, saya minta saja blanko itu dan saya ke kantor kecamatan. Di sana, saya tetap berusaha agar kolom agama dikosongkan. Tapi tidak bisa. Malah di komputer, sudah ada setting otomatis hanya lima agama. Dan akhirnya, hasilnya tetap saja tertulis salah satu agama. Alasannya selalu bersandar pada peraturan yang berlaku.

Padahal, siapa sih pemerintah? Pemerintah ada karena kita, rakyat, yang mengdakan. Hendaknyalah para pemimpin pemerintah itu mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sejati, yaitu rakyat. Kami, Sedulur Sikep, juga tidak ingin bergantung pada pemerintah. Kami tidak mau sekolah formal itu juga bagian dari tidak menciptakan ketergantungan.

Dengan tidak sekolah formal, Sedulur Sikep tidak mau jadi pejabat pemerintah. Cukup jadi orang saja, yang penting tahu salah-benar, dan tidak merugikan orang lain. Kami tidak mau bergantung. Apa bisa? Kami jawab, bisa.




http://yuda.multiply.com/journal/item/46/Mas_Gun_Orang_Sedulur_SikepSamin_bicara_sangat_inspiratif

SAMINISME : Seratus Tahun Melawan Pemburu Rente

SAMINISME : Seratus Tahun Melawan Pemburu Rente



Gerakan perlawanan Samin, yang muncul pada tahun 1890-an, kini menemukan bentuknya yang baru. Di awal kemunculannya, lawan mereka berupa kolonial Belanda dan penguasa pribumi yang mengisap. Kini, para penerus Samin Surosentiko itu berhadapan dengan perusahaan ekstraksi yang bersekutu dengan penguasa. Lawan para Samin sebenarnya tetaplah sama, yaitu para pemburu rente. Antropolog Amrih Widodo mengatakan, gerakan Saminisme merupakan fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, muncul sebagai bagian dari gerakan petani, yang oleh sejarawan sering disebut sebagai gerakan proto-nasionalisme. Gerakan ini mekar akibat makin ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19, kata Amrih, yang belasan tahun mendalami Saminisme. Awalnya adalah sistem tanam paksa yang membuat petani menjadi kuli yang mengolah tanah bagi kolonial. Belanda kala itu juga mengumpulkan pajak untuk membiayai aparatnya. Para priayi pribumi ikut mengambil untung sistem itu dengan melestarikan hubungan tuan dan majikan yang mereka pelajari dari pemerintah kolonial. Dari situlah gerakan perlawanan Samin dimulai.
Nancy Lee Peluso dalam karyanya, Rich Forest, Poor People: Resource Control and
Resitence in Jawa, menuliskan bahwa kebijakan dan peraturan Pemerintah Belanda
untuk menguasai hutan membuat petani di sekitarnya kehilangan akses. Bagi penduduk desa yang miskin, kehilangan akses hutan berarti kehilangan sumber daya utamanya. Ini menyebabkan gerakan penolakan dan salah satunya ialah perlawanan tanpa kekerasan dari pengikut Samin yang hidup di dekat hutan jati. Istilah sedulur sikep yang sekarang dipakai, menurut Amrih, merupakan nama diri untuk menunjuk kepada masyarakat petani yang oleh orang luar sering dinamakan sebagai masyarakat Samin atau penganut ajaran Saminisme, terutama yang tinggal di Kabupaten Pati, Kudus, dan Blora. Orang luar menyebut kita orang Samin. Padahal, Samin tak lebih dari nama
orang. Pengikut Samin itu pengakuannya ya wong (orang) sikep atau sedulur
(saudara) sikep (makna harfiahnya berpelukan erat), kata Gunretno, salah
seorang tokoh muda Sedulur Sikep. Di mata Amrih, kata sikep merupakan cara untuk melawan atau menghindari penamaan dengan menggunakan kata samin akibat konotasi negatif yang dilekatkan pada kata tersebut selama bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme makin dipisahkan dari semangat gerakan perlawanan petani.
Pemasungan kata Samin dan Saminisme dari konteks sejarah perlawanan ini merupakan dampak kebijakan politik kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada zaman rezim Orde Baru. Dalam dokumen sejarah nasional ataupun sejarah lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gerakan Saminisme menduduki posisi penting sebagai wujud perjuangan
rakyat melawan penjajah Belanda. Akhir hidup Penindasan yang sama oleh perangkat pemerintah desa sesudah negara Indonesia mendapatkan kemerdekaannya menjadi energi yang terus menghidupkan kultur perlawanan Saminisme. Sedulur sikep tak bisa dipisahkan dari semangat gerakan Saminisme yang pada dasarnya merupakan gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Dulu pelaku penindasan itu adalah pemerintah kolonial, sekarang kekuasaan pascakolonial, entah yang berbentuk penentuan dan penarikan pajak/retribusi yang berlebihan, kerja bakti atau keikutsertaan dalam program pemerintah secara paksa, pemaksaan identitas budaya dan agama, maupun perampasan hak milik dan sumber penghasilan, dengan dalih pembangunan, demi kepentingan nasional, dan peningkatan pendapatan daerah.
Menurut Amrih, ajaran yang dianut oleh Sedulur Sikep mendefinisikan jati diri
mereka berpusat pada moda produksi pertanian sehingga segala sesuatu yang
berhubungan dengan pertanian tanah, air, tanaman, pupuk, dan unsur-unsur
pertanian lainnya tak hanya menentukan jasad hidup sosial ekonomi mereka,
tetapi sekaligus menjadi esensi spiritual dan kultural yang mendefinisikan
keber-ada-an mereka. Hidup sedulur sikep itu, ya, dari bertani. Kita tidak bisa hidup selain bertani, kata Gunretno. Karena itu, menjadi masuk akal kalau yang paling merasakan ancaman besar ketika ada rencana pembangunan pabrik semen adalah Sedulur Sikep karena pabrik semen ini akan menghancurkan sekaligus sumber penghasilan, sumber hidup, dan sumber esensi jati diri mereka. PT Semen Gresik mengatakan bahwa penambangan tidak akan mengenai lahan Sedulur Sikep. Tetapi, apakah dengan rusaknya pegunungan kapur itu sumber air untuk pertanian tidak akan hilang? ujar Gunretno. Amrih membandingkan ancaman hancurnya kehidupan Sedulur Sikep akibat penambangan itu dengan seorang guru yang tak lagi mempunyai gedung sekolah, tak ada siswa maupun departemen pendidikan. Yang hilang tidak hanya gaji dan tunjangan bulanan karena pekerjaannya hilang, tetapi juga status sosial, jati diri, dan seluruh lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya lenyap. Artinya, akhir kehidupan, akhir hidup. Dengan bertani, kami mengajarkan anak-anak untuk hidup. Sawah adalah guru dan cangkul adalah alat tulisnya, kata Gunretno. Kepeloporan Sedulur Sikep di kawasan Sukolilo, menurut Amrih, sebenarnya bukan baru mulai ketika ada rencana pembangunan pabrik semen. Mereka sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan sesama petani untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi petani: banjir tahunan, merosotnya harga gabah pada masa panen, hama tanaman, langkanya pupuk saat dibutuhkan. Gerakan tolak pabrik semen ini mencuatkan peran mereka, selain karena besarnya investasi yang ditanamkan yang akibatnya tentu bersikerasnya pemerintah daerah ataupun Semen Gresik untuk mengegolkan tujuan, kurangnya konsultasi terhadap masyarakat petani yang terkena dampak langsung, pembelian tanah dalam skala besar-besaran, tetapi terutama karena besarnya ancaman terhadap esensi hidup Sedulur Sikep.


http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/message/11214

Pabrik Semen Pati : Komunitas Sedulur Sikep Bertemu dengan Komisi VII

Pabrik Semen Pati : Komunitas Sedulur Sikep Bertemu dengan Komisi VII



Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf berjanji membantu warga
di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menolak rencana
pembangunan pabrik semen di kecamatan tersebut. Komisi VII DPR segera
mengagendakan acara pembahasan masalah pabrik semen itu di tingkat Komisi VII.

Hal itu terungkap dalam dialog Sonny dengan Komunitas Sedulur Sikep dan
perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik
semen di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno (100), di Desa Baturejo,
Kecamatan Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati,
Minggu (7/9).

Sonny Keraf, anggota Fraksi PDI-P DPR itu, juga meminta kepada Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke
Sukolilo bersama-sama lembaga riset dan warga setempat, khususnya warga Desa
Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung.

Bukan provokator

Warga Sedulur Sikep, Gunretno, membantah kepada semua pihak, khususnya mereka
yang pro-pembangunan pabrik semen di Sukolilo dan selama ini menganggap jika
komunitasnya provokator, karena terkait dengan rendahnya sumber daya manusia.
”Penolakan muncul dari hati nurani masing-masing setelah memperoleh informasi
dari banyak pihak,” kata Gunretno.

Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno, mengatakan, bidang pertanian merupakan
sumber penghasilan dan kehidupan warga. ”Dadi opo anak putuku kabeh setuju yen
ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa keturunanku semua setuju kalau ada
pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah Tarno. ”Mboten setuju banget (Sangat
tidak setuju),” teriak warga yang memenuhi rumahnya.




http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/09/0107455/komunitas.sedulur.sikep.bert\
emu.dengan.komisi.vii

Refleksi Pendampingan Masyarakat Sedulur Sikep terhadap Ancaman Pembangunan Pabrik Semen I

Refleksi Pendampingan Masyarakat Sedulur Sikep terhadap Ancaman Pembangunan Pabrik Semen I



Nalar modal (ekonomi) pada dasarnya tidak akan pernah seiring dengan nalar entitas manusia (masyarakat). Problemnya adalah bagaimana konsepsi manusia itu sendiri juga masih mengundang banyak prespektif yang masih layak didiskusikan, sehingga ketika ada kebijakan tentang ekonomi tidak serta merta mengorbankan cara pandang masyarakat yang berasal dari wilayah-wilayah yang dimarginalkan (baca:minoritas). Problem inilah yang kemudian jargon atas nama 'pembangunan' yang dilayangkan pada masa Orde Baru, 'masyarakat yang beradab' pada masa kolonial, sampai atas nama 'objektifitas' dalam ilmu pengetahuan.

Pada masa kolonial, pihak pemerintah Hindia Belanda menyikapi adanya keanekaragaman entitas masyarakat komunal (tradisi) di Nusantara, diperlukan suatu usaha identifikasi masyarakat komunal untuk merumuskan strata sosial masyarakat di Nusantara yang dapat mendukung jalannya mobilisasi modal beserta pengeksploitasiannya. Karena wilayah-wilayah modernisasi ekonomi di awal abad XX oleh pihak Hindia Belanda, berada pada wilayah geo sosial masyarakat komunal tersebut. Untuk itulah dilakukan normalisasi masyarakat komunal di Nusantara dengan mengidentifikasi mereka dengan istilah masyarakat 'adat'. Salah seorang penasehat jajahan Vollenhoven merumuskan masyarakat di pedalaman secara geografis tersebut sebagai istilah 'adat'. Kebutuhan untuk meng 'adat' kan masyarakat lokal atau komunal tersebut adalah untuk melokalisir masyarakat tersebut dalam wilayah teritorinya sendiri, sehingga dapat mendukung tertib (rest and orde) hukum sebagai pijakan terhadap berlangsungnya praktek kolonial Hindia Belanda. Peng 'adat' an sebagai bentuk lokalisasi masyarakat yang melahirkan istilah 'hukum adat', yang kemudian menjadikan dinamika 'hukum adat' yang berasal dari masyarakat komunal tersebut tidak memiliki dinamikanya terhadap entitas dilingkungannya atau di sosial sekitarnya. Kondisi ini seakan-akan bahwa 'hukum adat' menjadi tidak berkorelasi dengan persoalan-persoalan kebangsaaan secara nasional. Fase kolonial modern inilah yang kemudian menciptakan piramida sosial masyarakat Nusantara yang semakin menguat dengan praktek meng-komprador-kan para elite masyarakat, khususnya para elite lokal masyarakat.

Warisan piramida sosial dari kolonial Hindia Belanda masih terasa sejak hari ini. Fase ini pulalah yang pernah kita lalui dari perjalanan kebangsaan sejak kemerdekaan yang menghasilkan konflik horisontal di tahun 65. Di masa orde baru pun, piramida sosial Indonesia kita semakin mengkrucut kembali dengan politik massa mengambang dengan mengkooptasi setiap elit entitas masyarakat, serta perilaku birokratisasi aparat politiknya. Intensitas piramida masyarakat inilah yang kemudian kadang kita keliru menaksir, khususnya dalam masyarakat Jawa dalam budaya 'sungkan', 'menghormati sesepuh', sampai pepatah 'padi yang berisi akan menunduk' sebagai entitas budaya masyarakat.

Studis kasus belakangan ini yang sedang terjadi salah satunya adalah rencana pendirian pabrik Semen Gresik di wilayah Sukolilo Pati. Secara sosiologis, wilayah Sukolilo merupakan geo sosial dari salah satu sejarah pesebaran Sedulur Sikep sebagai basis kehidupan. Beberapa praktek yang dilakukan oleh elite modal pabrik semen Gresik adalah dengan menemui beberapa masyarakat Sedulur Sikep serta sesepuh Sedulur Sikep Mbah Tarno. Dialog pihak perusahaan dengan masyarakat Sedulur Sikep memalalui pihak Sekretaris perusahaan dan para CSR (Cooperate Sosial Responsibilty) nya, mereka memaparkan peran perusahaan dalam kepeduliannya membangun masyarakat baik di bidang ekonomi, budaya dan sosial. Tidak lupa mereka juga memaparkan sejarah Pabrik Semen Gresik dengan legitimasi eksisten Presiden Soekarno sebagai yang meresmikan pabrik tersebut, serta mengatasnamakan sebagai perusahaan negara dengan saham negara 51 % dan sisanya milik asing.

Rencana proyek pembangunan semen tersebut mendapatkan penolakan dari pihak masyarakat Sedulur Sikep (Kompas Jateng/5 Juni 2008), karena memperhitungkan dampak lingkungan dari penambangan semen terhadap mata pencaharian mereka sebagai petani. Sebagai catatan, pertanian adalah bagian dari keyakinan masyarakat Sedulur Sikep, yang memiliki sejarah komunalnya dalam memposisikan diri sebagai pengemban pertanian sebagai keyakinan sosial serta respon terhadap identifikasi alam yang identik dengan dinamika sosialnya. Dalam kasus penambangan atau eksploitasi alam adalah bukan persoalan teritori dan batas tanah yang akan menjadi lahan penambangan, lebih ekologis lagi adalah bagaimana dampak lingkungan dan relasi sosial yang terjadi dari adanya penambangan semen tersebut.

Yang tersisa dari dialog yang dilakukan oleh pihak Semen Gresik ini adalah usaha praktek legitimasi melalui pendekatan terhadap para sesepuh masyarakat Sedulur Sikep. Tafsir sepihak pun tak terhindarkan, dialog yang berlangsung hanya sebatas persuasif tanpa menjangkau akar permasalahan sesungguhnya yang berlangsung selama terjadinya proses pendirian pabrik Semen Gresik di Sukolilo Pati. Bahwa pihak pabrik Semen Gresik tidak akan memaksa masyarakat Sedulur Sikep untuk menjual tanahnya kepada pihak pabrik, tetapi akan menerima pihak yang akan rela menjual tanpa intimidasi, masih menyisakan adanya niat Pabrik Semen Gresik untuk tetap mendirikan Pabrik Semen di wilayah Sukolilo Pati. Artinya adalah bahwa dalam dialog antara pihak Pabrik Semen dengan masyarakat Sedulur Sikep dimaknai oleh pihak Semen Gresik sebagai proses etika semata, tanpa mengubah sikap dari pihak Semen Gresik dengan melihat kedaulatan masyarakat.

Paska Orde Baru, merupakan era kapitalisme telah menuju pada titik globalnya yang ditandai dengan runtuhnya blok komunis. Sehingga praktek modal dan penjagaa modalnya pun kini tidak lagi melalui pendekatan militer karena ancaman terhadap komunisme. Era kapitalisme paska Orde Baru menandai era dimana peran negara hampir di hapuskan, berikut dengan para aparatus represifnya yang berdampak pada kasus-kasus kemanusiannya (HAM). Dari legitimasi kemanusiaan itu pulalah, kapitalisme kini berpraktek humanis dengan segala kebijakannya yang bersifat kompensasi, yang ternyata lebih murah dibandingkan dengan pengawalan secara militeristik. Kondisi ini pulalah yang kemudian dalam undang-undang kita mewajibkan ada lembaga CSR sebagai bagian dari perusahaan dalam usahanya terhadap keamanan sosial (social security).

Perjumpaan dengan kapitalisme yang humanis sangat terasa dalam pengalaman berkomunikasi dengan pihak pabrik Semen Gresik. Sebelum diadakan dialog resmi antara pihak Sedulur Sikep dengan Pabrik Semen Gresik, mereka sudah melakukan komunikasi dan pergaulan secara personal (CSR) Pabrik Semen Gresik dengan pihak masyarakat Sedulur Sikep. Perilaku komunikatif para CSR ini juga masih menyisakan nuansa warisan piramida sosial masyarakat, dengan hanya berdialog dengan pihak elite lokal masyarakat sebagai alat legitimasi. Praktek komunikasinya pun masih menyisakan suasana 'sopan' dan tidak sistematis dalam menjangkau kebutuhan dialog yang sesungguhnya, dimana ada cara pandang berbeda antara kuasa modal dengan dinamika budaya masyarakat yang berkorelasi terhadap mata pencahariannya.

Acara dialog dan pertemuan denga sesepuh Sedulur Sikep itu sendiri, masih dimaknai oleh pihak Semen Gresik sebagai alat legitimasi, tanpa melihat keberadaan sesepuh sebagai alat representasi dari keanekaragaman masyarakat lokal. Dalam proses dialog tersebut, pihak Semen Gresik hanya berdialog dengan pihak sesepuh dan elite lokal semata, tanpa melihat adanya suara-suara dari basis masyarakat yang juga memiliki hak untuk berkomunikasi. Padahal dalam semangat masyarakat lokal itu sendiri, para sesepuh tersebut dimaknai sebagai mediasi dan forum dialog bagi banyak warga. Eksistensi Sesepuh dalam masyarakat lokal Sedulur Sikep pada dasarnya merupakan alat mediasi komunikasi dan konsolidasi diantara sesama warga Sedulur Sikep. Semangat inilah yang bisa dianggap berbeda pada pengertian sesepuh dalam entitas lain yang mungkin bisa di baca sebagai bentuk 'feodalisme Jawa'. Pengalaman masyarakat Sedulur Sikep dalam menyikapi penolakan terhadap keberadaan pabrik Semen Gresik itu sendiri, justru banyak lahir dan dipelopori bukan oleh pihak kaum sepuh masyarakatnya. Sehingga dapat diasumsikan pengertian sesepuh dalam masyarakat Sedulur Sikep bukan dalam pengertian piramida sosial beserta otoritas mekaniknya (tradisional), dalam konsepsi masyarakat Sedulur Sikep yang memiliki sejarah berdasarkan ajaran dan bukan keturuanan, pengertian sesepuh bisa dimaknai sebagai bentuk hirarki yang organis, dimana permasalahan otoritas tetap ditangan musyawarah (rembuk). Hal ini juga diperkuat dari adanya paham Sedulur Sikep yang tidak mengenal ratu adil (mesiah), yang kemudian ajaran paham Sedulur Sikep sendiri tidak diartikulasi dalam praktek otoritas pemegang ajaran tunggal, selain paham Sedulur Sikep sendiri yang disebut ajaran itu sendiri adalah laku dan tindakan sehari-hari sebagai teks itu sendiri (lakon).

Refleksi di beberapa individu masyarakat Sedulur Sikep itu sendiri memuat pemahaman bahwa kondisi di dalam keluarga serta masyarakat komunalnya tidak berbeda dengan situasi yang ada di luarnya (kahanan jero iku ora ono bedane ambe kahanan jobo). Hal ini memungkinkan adanya sebuah paham Sedulur Sikep yang lepas dari persepsi adat yang ada selama ini, dimana kontek hukum adat biasanya hanya memuat persoalan-persoalan disekitar lingkungan lokalnya. Vollenhoven sendiri merumuskan hukum positif pada masa praktek kolonial Belanda dengan mengandaikan hukum tersebut berasal dari hukum-hukum adat yang dibentuknya. Kebijakan ini pulalah yang kemudiaan seakan-aakan hukum masyarakat lokal yang telah di-'adat'-kan lebih inferior dibandingkan hukum positif itu sendiri.

Pada dasarnya pengandaian piramida sosial masih menjadi strata sosial masyarakat Indonesia masih kental dalam struktur sosial masyarakat. Pengandaian inilah yang kemudiaan sangat dimanfaatkan bahkan dipelihara oleh beberapa kelompok kepentingan (stake holder) untuk melanggengkan hegemony nya di masyarakat, khususnya di masyarakat komunal. Sebagai 'Jawa Besar' mungkin ini yang kita kenal sebagai bentuk feodalisme yang mengalami intensitas yang cukup kuat dan lama, yang menjadikan kita kemudian sudah sulit mengenali praktek warisan kolonial dan penjajahan karena berbaur dengan kebudayaan dan alam bawah sadar kita. Mental-mental itu kita rasakan kita sampai hari ini, tidak dalam mereka yang ditradisionalkan saja, jangan-jangan penyakit akut itu juga mengidap kita. Hidup anti-vertikal!




http://groups.yahoo.com/group/kunci-l/message/4260

Komunitas Samin Usulkan Tokohnya Jadi Pahlawan Nasional

REPUBLIKA.CO.ID, BLORA--Komunitas Samin yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, mengusulkan kepada pemerintah pusat agar Samin Surosentiko dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Ajaran Samin yang dibawanya di antaranya mengajak pengikut dan masyarakat melawan Belanda yang sering bertindak kasar dan memeras rakyat.

"Ajaran Samin tidak hanya dikenal di Blora, tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur," kata tokoh Sedulur Sikep, Pramugi Prawiro Wijoyo, di Blora, Jawa Tengah, Senin.

Menurut dia, ajaran yang diberikan Samin Surosentiko adalah ajaran budi pekerti luhur dan perlawanan kepada penjajah Belanda tanpa senjata, dengan menggali potensi lokal masyarakat yang jujur dan suka menolong untuk mengembangkan ajarannya.
"Manurut kami, dia layak sebagai pahlawan nasional, sebab Samin merupakan sosok pejuang yang membawa pencerahan dengan caranya sendiri," katanya.

Bupati Blora Djoko Nugroho, mengatakan, setuju dengan usulan tersebut dan akan berusaha meneruskan usulan Sedulur Sikep ke Pemerintah Pusat, serta berharap kekayaan lokal dan kearifan yang ada di masyarakat bisa dilestarikan. Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (DKPPOR), Suntoyo, mengatakan, usulan Sedulur Sikep tersebut sebenarnya merupakan salah satu program DKPPOR untuk memunculkan tokoh daerah ke tingkat nasional.

"Jadi itu sudah merupakan program kami, sebab perjuangan Samin Surosentiko, memang patut diberikan penghargaan," katanya.

Menurut dia, proses untuk mengangkat Samin sebagai pahlawan nasional, saat ini masih panjang, karena masih harus menggali data dan sejarah perjuangan serta kajian dan bukti kongkrit yang ada. "Dimungkinkan, harus ke Belanda untuk mencari dan menggali datanya," katanya.

Mantan Bupati Blora Yudhi Sancoyo, mengatakan, mendukung usulan Sedulur Sikep agar Samin diakuai sebagai pahlawan nasional, sebab perjuangan melawan penjajah tanpa kekerasan adalah hal yang luar biasa.

"Bagi saya, Samin Surosentiko adalah pejuang yang cerdas dan sosok yang andal berdiplomasi sehingga pengikutnya menyebar. Saya mendukung, dan siap membantu pemkab dalam proses mengusulkan ke Pemerintah Pusat tentang pengakuan Samin sebagai pahlawan nasional, sehingga mengangkat citra Blora di tingkat nasional," katanya.



http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/11/29/149410-komunitas-samin-usulkan-tokohnya-jadi-pahlawan-nasional

Tokoh Samin Diusulkan Jadi Pahlawan

Tokoh Samin Diusulkan Jadi Pahlawan


BLORA, KOMPAS.com--Komunitas Samin yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Samin Surosentiko dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.

"Ajaran Samin tidak hanya dikenal di Blora, tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di antaranya mengajak pengikut dan masyarakat melawan Belanda yang sering bertindak kasar dan memeras rakyat," kata tokoh Sedulur Sikep, Pramugi Prawiro Wijoyo, di Blora, Jawa Tengah, Senin.

Menurut dia, ajaran yang diberikan Samin Surosentiko adalah ajaran budi pekerti luhur dan perlawanan kepada penjajah Belanda tanpa senjata, dengan menggali potensi lokal masyarakat yang jujur dan suka menolong untuk mengembangkan ajarannya.

"Manurut kami, dia layak sebagai pahlawan nasional, sebab Samin merupakan sosok pejuang yang membawa pencerahan dengan caranya sendiri. Saya sebagai orang yang dituakan dari 500 orang anggota Sedulur Sikep di Desa Sambongrejo, saat ini sedang mengonsep usulan secara tertulis untuk diajukan," katanya.

Bupati Blora Djoko Nugroho, mengatakan, setuju dengan usulan tersebut dan akan berusaha meneruskan usulan Sedulur Sikep ke Pemerintah Pusat, serta berharap kekayaan lokal dan kearifan yang ada di masyarakat bisa dilestarikan.

Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (DKPPOR), Suntoyo, mengatakan, usulan Sedulur Sikep tersebut sebenarnya merupakan salah satu program DKPPOR untuk memunculkan tokoh daerah ke tingkat nasional.

"Jadi itu sudah merupakan program kami, sebab perjuangan Samin Surosentiko, memang patut diberikan penghargaan," katanya.

Menurut dia, proses untuk mengangkat Samin sebagai pahlawan nasional, saat ini masih panjang, karena masih harus menggali data dan sejarah perjuangan serta kajian dan bukti kongkrit yang ada. "Dimungkinkan, harus ke Belanda untuk mencari dan menggali datanya," katanya.

Dikatakannya, belum lama ini, pada Jumat (19/11), DKPPOR telah menggelar acara nonton bareng film dokumenter Samin Surosentiko di Gedung Sasana Bhakti, hasil karya sutradara Bambang Hengky, yang disaksikan bupati, muspida, muspika, dan komunitas Sedulur Sikep, serta warga Blora lainnya.

"Pemutaran film tersebut dimaksudkan untuk menarik apresiasi dan empati tentang Samin sehingga masyarakat Blora diharapkan bangga dengan kisah perjuangan Samin Surosentiko," katanya.

Pada kesempatan lain, mantan Bupati Blora Yudhi Sancoyo, mengatakan, mendukung usulan Sedulur Sikep agar Samin diakuai sebagai pahlawan nasional, sebab perjuangan melawan penjajah tanpa kekerasan adalah hal yang luar biasa.

"Bagi saya, Samin Surosentiko adalah pejuang yang cerdas dan sosok yang andal berdiplomasi sehingga pengikutnya menyebar. Saya mendukung, dan siap membantu pemkab dalam proses mengusulkan ke Pemerintah Pusat tentang pengakuan Samin sebagai pahlawan nasional, sehingga mengangkat citra Blora di tingkat nasional," katanya.


http://oase.kompas.com/read/2010/11/30/03090471/Tokoh.Samin.Diusulkan.Jadi.Pahlawan

Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa

Masyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Identitas itu menunjukkan karakter dan perlengkapan mereka sesuai dengan ajaran saminisme yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu terutama di kalangan generasi tua. Mereka merasakan kebenaran dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran peninggalan Samin Surontiko sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna. Sikap perbuatan warga Samin selalu diikuti bukti-bukti nyata dan konsekuen sesuai dengan ajaran yang diterima. Simbol identitas masyarakat Samin antara lain terlihat pada pakaian yang dipakai dan juga bahasa. Mereka tidak mengenal tingkataan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Pokok ajaran Samin Surontiko adalah

1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.
2. Jangan menggangu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan sombong
4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup=roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Roh orang yang meninggal tidaklah meninggal hanya menanggalkan pakaiannya
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.

Ajaran saminisme tersebar antara lain di daerah Blora, Kudus, Pati, Rembang dan Bojonegara. Penelitian yang ditulis dalam buku ini mengambil masyarakat Samin di desa Sumber, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa Tengah. Berdasarkan sikap dan perbuatan ada dua aliran Samin yaitu Samin Lugu dan Samin Sangkak. Samin Lugu adalah Samin “murni” bersikap sabar tidak pernah gentar sedikitpun, tidak pernah mendendam dan membalas dendam, segala sesuatu mereka hadapi dengan tenang. Mereka mempercayai hukum karma setiap orang akan menerima akibat perbuatannya. Samin Lugu juga disebut Jomblo-Ito artinya lahirnya bodoh dan tidak mengerti tetapi batin hatinya suci dan murni laksana emas. Samin Sangkak adalah Samin pemberani, bila mendapat lawan akan menangkis untuk melindungi diri sendiri. Mereka mudah menaruh curiga terhadap orang yang belum dikenal, suka membantah dengan alasan yang kurang masuk akal. Tetapi keduanya mempunyai perasaan dan budi yang halus. Menghadapi mereka yang penting adalah kejujuran.

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah kakek atau nenek.

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu. Di daerah penelitian jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.

Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, kitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masayarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Saminmemiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi tidak urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain. Yang perlu dijaga agar tidak hilang adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal pada masyarakat Samin tersebut misal kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.


http://www.tembi.org/perpus/2004_12_perpus01.htm

Masyarakat Samin Dan Anarkisme

Wong Samin, begitu orang menyebut mereka. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Soersentiko yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain diluar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura timur Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal dikawasan pegunungan Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama dikalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko (nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914) diantaranya:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
• Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu yang amat sangat, berbicara apa adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Jomblo-ito atau Samin Lugu, dan Samin sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan pemberani. Kelompok ini mudah curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara yang tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan masyarakat Bojonegoro dan Blora. Mereka melaksanakan pernikahan secara langsung, tanpa melibatkan lembaga-lembaga pemerintah bahkan agama, karena agama mereka tidak diakui negara. Mereka menganggap agamanya sebagai Agama Adam, yang diterapkan turun temurun. Dalam buku Rich Forests, Poor People – Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan para pemimpin samin adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan. Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan dirinya. Oleh para pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak. Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.


http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/

Saminisme Vs Eksploitasi Migas Blok Cepu

Saminisme Vs Eksploitasi Migas Blok Cepu



Eksploitasi minyak bumi di wilayah Blok Cepu tidak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah masalah sosial dan budaya masyarakat. Jika hal tersebut dibiarkan, maka akan terjadi perubahan sistem sosial yang berdampak pada perubahan budaya. Artinya, nilai-nilai dalam masyarakat akan bergeser. Apabila hal tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan gagar budaya dalam kehidupan masyarakat di kawasan Blok Cepu.


Di kawasan Blok Cepu, kehidupan masyarakat Samin sangat menarik untuk dibicarakan. Masyarakat Samin sebagai salah satu kelompok etnik yang tinggal di kawasan Blok Cepu tentu memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Di usia yang sudah satu abad lebih ini masyarakat Samin sudah mengalami perubahan pada pranata sosial dan kebudayaan yang selama ini mereka anut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan dalam struktur sosial dimana mereka hidup.

Apabila ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah mereka. Sebenarnya jika dikaji ulang, nilai-nilai Saminisme sangat cocok untuk mencegah terjadinya gegar budaya di kawasan Blok Cepu. Misalnya saja salah satu pokok ajaran Samin Surosentiko yang menyatakan bahwa agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Selain itu, pokok ajaran yang lain misalnya jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang, menghargai kejujuran, dan sebagainya. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Samin ini jika diterapkan kembali akan menjadi alat pencegah terjadinya gegar budaya di kawasan Blok Cepu.

Dengan adanya eksploitasi migas di kawasan Blok Cepu selain menimbulkan dampak positif juga menimbulkan dampat negatif, misalnya perubahan budaya masyarakat dan sistem sosial masyarakat yang dapat menimbulkan gegar budaya. Solusinya, manifestasi nilai-nilai Saminisme yang mulai luntur dapat diterapkan kembali sebagai pencegah terjadinya gegar budaya yang diakibatkan adanya eksploitasi minyak bumi di kawasan Blok Cepu. Dengan menerapkan ajaran-ajaran Saminisme, khususnya ajaran yang berkaitan dengan lingkungan dan kehidupan sosial, gegar budaya akibat ekploitasi migas di kawasan Blok Cepu dapat dicegah.

Berdasarkan hal di atas, maka upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gegar budaya akibat eksploitasi migas di kawasan Blok Cepu antara lain, masyarakat di kawasan Blok Cepu hendaknya mensikapi dengan positif terhadap eksploitasi minyak bumi yang dilaksanakan di wilayahnya serta menerapkan kembali ajaran-ajaran Saminisme yang sesuai dengan kehidupan sekarang agar tidak terjadi gegar budaya akibat adanya eksploitasi migas di kawasan Blok Cepu.

Bagi pemerintah khususnya pemerintah kabupaten Blora dan Bojonegoro melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan Nasional diharapkan dapat memberikan bimbingan dan penyuluhan serta melestarikan kebudayaan masyarakat Samin yang masih bisa diterapkan pada era sekarang agar tidak terjadi gegar budaya akibat eksploitasi minyak bumi di kawasan Blok Cepu.




http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1143&Itemid=71

SAMINISME

SAMINISME


PENGERTIAN

•Ajaran samin atau saminisme adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme pada masa abad ke-19.

•Ajaran ini disebarkan oleh Samin Surisentiko,oleh karena itu dikenal dengan ajaran samin(saminisme).

ASAL AJARAN SAMINISME

Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintahan kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat-istiadat dan kebiasaaan-kebiasaan tersendiri.

KONSEP AJARAN SAMIN

1. Tidak bersekolah
2. Tidak memakai peci,tapi memakai “iket”,yaitu semacam kain yang dikaitkan dikepala mirip orang jawa dahulu.
3.Tidak berpoligami
4.Tidak memakai celana panjang,tapi hanya memakai celana selutut
5.Tidak berdagang
6.Penolakan terhadap kapitalisme.

Pokok-pokok ajaran saminisme


1.Paham samin tidak membeda-bedakan agama karena agama adalah senjata atau pegangan hidup.

2.Jangan menggangu orang,jangan bertengkar,jangan suka iri hati,dan jangan suka mengambil milik orang.

3.Bersikap sabar dan jangan sombongMenurut orang samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal,namun hanya menanggalkan pakainnya.

4.Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidak jujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan berupa uang.

Sikap orang samin

Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, tetapi orang samin masih menilai pemerintahan Indonesia tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya ke KUA ataupun ke catatan sipil.
Tetapi secara umun orang samin sangatlah jujur dan polos tetapi kritis.

Pakaian dan bahasa orang samin

Bahasa yang digunakan oleh orang samin adalah bahasa jawa ngoko. Bagi orang samin menghormati orang lain bukan dari bahasa, tetapi dari perbuatan.

Pakaian orang samin biasanya terdiri dari baju lengan panjang tidak ada kerah,berwarna hitam,laki-laki memakai ikat kepala.

Untuk wanita bentuknya kebaya lengan panjang,berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki

Pernikahan bagi orang samin

Menurut orang samin, perkawinan itu sangat penting. Bagi mereka perkawinan itu alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “atmaja (u)tama” (anak yang mulia).
menurut orang samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Sikap terhadap lingkungan

Pandangan orang samin terhadap lingkungan sangat baik mereka memanfaatkan alam secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka merupakan pemberi kehidupan. Masyarakat samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya

Pemukiman

•Biasanya masyarakat samin hidup dalam satu deretan rumah untuk memudahkan berkomunikasi.
•Rumah tersebut biasanya terbuat dari kayu, yang cukup sederhana dan relatif luas.
•Kamar mandi dan sumur digunakan untuk beberapa keluarga(untuk digunakan bersama).

Upacara dan tradisi

Upacara tradisi yang ada pada masyarakat samin antara lain nyadran(bersih desa) termasuk juga menguras air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat.

Tradisi keselamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan,dan kematian. Mereka melakuakan tradisi tersebut dengan sederhana.

Masyarakat samin saat ini

Sekalipun masyarakat samin berusaha mempertahankan tradisi namun tidak urung kemajuan jaman juga mempengaruhi mereka, namun yang diharapkan tidak hilang terpupus zaman adalah nilai-nilai positif atau kearifan yang telah ada pada masyarakat samin tersebut,misalnya kejujuran dan kearifanya dalam memakai alam, semangat gotong-royong dan saling menolong yang masih tinggi.




http://djie-sis.blogspot.com/2008/01/saminisme.html

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’


Ketika kita mendengar istilah ‘samin’ akan tertuju pada sekelompok orang yang memiliki tingkah laku yang nyeleneh dan berkonotasi negatif, terasing dengan segala keterbatasan. Orang menganggap orang samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Selain itu, orang menjadi salah kaprah dalam melakukan penilaian dan mendefinisikan tentang kata samin itu sendiri. Seringkali samin disebut sebagai suku atau aliran kebatinan. Namun sebenarnya itu kurang tepat dengan realitas yang ada. Ini tidak lepas dari kesejarahan aliran ini sendiri yang sering disebut dengan ‘saminisme’.

Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya menjadi Samin Suro Sentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Blora, Jawa Tengah pada 1859. Sekitar tahun 1890 Samin Suro Sentiko mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat di daerah Klopoduwur Blora. Ajarannya ini menarik minat dari masyarakat disekitarnya. Bahkan ajaran saminisme selain berkembang di sekitar Blora sendiri juga berkembang hingga ke daerah Bojonegoro, Pati, Kudus, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, Lamongan. Namun yang paling pesat mengalami perkembangan adalah di daerah Blora, Bojonegoro, dan Pati.

Saminisme pada waktu itu dapat berkembang dengan pesat karena mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga ajaran yang bersifat lisan. Ajaran-ajaran tersebut adalah; Pertama, Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri. Jika kita nalar, ajaran ini memiliki kesamaan dengan semua ajaran agama yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan segala tindak kebaikan. Memang ini tidak lepas dari tradisi Islam di Jawa sendiri yang sudah melekat pada kultur masyarakat.

Kedua, Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu” Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Namun pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.

Ketiga, “angger-angger lakonana” (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.

Dari ketiga ajaran terrsebut, jika kita bandingkan dengan ajaran agama dan ajaran hidup sehari-hari kita sebenarnya adalah sama. Namun yang dipertanyakan adalah mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif. Sehingga orang-orang samin di Pati menyebut dirinya dengan sebutan ‘wong sikep’ yang berarti orang yang memegang teguh ajaran saminisme, sebab kata samin di mata masyarakat berkonotasi buruk. Memang ajaran Samin sebenarnya ditujukan untuk melakukan penentangan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.

Gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh wong samin memang seperti saya katakan nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Ini bukan berarti perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko. Lalu untuk menghentikannya, pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia.

Perilaku aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin sampai saat ini masih membekas dalam ingatan masyarakat, sehingga anggapan yang berkembang adalah ‘orang samin adalah orang nyeleneh’. Orang tidak melihat sisi lain dari apa yang telah dilakukan gerakan saminisme. Sebagai sebuah gerakan penentangan pemerintahan kolonial, seharusnya gerakan ini mampu meninggalkan sebuah kesan positif di masyarakat. Namun keadaan yang terjadi adalah sebuah perilaku yang kurang adil terhadap masyarakat samin sendiri. Sehingga perlu ada upaya pelurusan pandangan masyarakat mengenai wong samin.

Saminisme dan New Social Movement

Sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda dengan senjata telah banyak memakan korban nyawa. Sehingga ketika perlawanan yang dilakukan ternyata selalu mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya lain dalam melakukan perlawanan. Samin Surosentiko mencoba perlawanan tanpa kekerasan yang dituangkan dalam bentuk ajaran samin dengan cara berperilaku nyeleneh. Ini bukan sebuah hal yang salah. Ketika upaya perlawanan senjata yang selama ini mengalami kegagalan akhirnya memaksa orang menerapkan cara yang lain. Sementara di tempat yang lain, gerakan perlawanan terhadap poemerintahan kolonial pada masa pergerakan nasional ditandai dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi yang bergerak di bidang politik. Kedua gerakan ini sama-sama tanpa kekerasan.

Jika kita tilik lebih jauh, gerakan saminisme bisa kita kategorikan sebagai new social movement. Jean Cohen (1985) merumuskan tujuan gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk menciptakan ruang publik di dalamnya wacana demokrasi ihwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas dan orientasi mereka, dapat didiskusikan dan diperiksa selalu. Gerakan saminisme tentang yang dilakukannya mungkin bukan sejauh apa yang dimaksudkan oleh Cohen.

Namun salah satu batasan ciri gerakan sosial baru Cohen adalah aktornya menerima keberadaan formal negara, tidak berlaku bagi gerakan saminisme. Sebab sikap pengikut saminisme berpendapat mereka hidup di tanah warisan leluhur, sedangkan pemerinbah Hindia Belanda tidak berhak mengatur kehidupan mereka yang dituangkan dengan penolakan membayar pajak, dan tidak hormat terhadap pejabat pemerintahan.

Sebagai gerakan yang berkembang cukup pesat, saminisme adalah juga sebagi upaya penentangan terhadap perampasan tanah yang akan digunakan untuk perluasan hutan jati. Tanah di sini bisa kita katakan sebagai sebuah identitas yang perlu dipertahankan. Ini seperti gerakan penolakan yang dilakukan oleh Chiko Mendez dan masyarakat di sekitar hutan Amazon terhadap eksploitasi dan pembakaran hutan oleh pihak pemilik modal di Brazil tahun 1980-an yang telah difilmkan dengan judul The Burning Season. Chiko Mendez dan masyarakat sekitar hutan melakukan penolakan penebangan hutan dengan cara berdiri berjejer di tengah jalan yang akan dilewati oleh penebang hutan. Sama dengan tanah milik masyarakat samin, hutan bagi penduduk hutan Amazon adalah sebagai identitas dan penghidupan bagi masyarakat. Maka ketika ada pihak yang berusaha merebut atau merusak identitas dan sumber kehidupan tersebut perlu dilawan.

Gerakan perlawanan masyarakat samin terhadap pemerintah kolonial memang bisa dikatakan berbarengan dengan gerakan nasional yang dipelopori Budi Utomo. Namun gerakan Budi Utomo lebih menasional serta terorganisir dengan baik karena dimotori oleh kalangan intelektual yang cukup modern di jamannya. Sehingga sangat wajar ketika orang lebih melihat gerakan Budi Utomo dan mengesampingkan gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat samin yang cenderung primitif dan nyeleneh. Namun itu bukan menjadi sebuah alasan untuk mengatakan samin itu buruk dan nyeleneh.


Sumber: http://wedangronde.blogspot.com/2007/10/meluruskan-pandangan-tentang-wong-samin.html

Kehidupan Orang Samin

Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin. Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti. Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan. Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih. Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius. Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu. Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara. Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin. Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar. Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma. Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual. Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang. Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan. Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur. Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914). Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
• tidak bersekolah,
• tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
• tidak berpoligami,
• tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
• tidak berdagang.
• penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan. Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
• Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin. Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni." Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka. Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914. Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa. Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal. Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain. Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin. Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti. Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil. Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis. Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki. Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh. Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.” Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin. Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

“Saha malih dadya garan,
"Maka yang dijadikan pedoman,

anggegulang gelunganing pembudi,
untuk melatih budi yang ditata,

palakrama nguwoh mangun,
pernikahan yang berhasilkan bentuk,

memangun traping widya,
membangun penerapan ilmu,

kasampar kasandhung dugi prayogântuk,
terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,

ambudya atmaja 'tama,
bercita-cita menjadi anak yang mulia,

mugi-mugi dadi kanthi.”
mudah-mudahan menjadi tuntunan."


Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya. Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah. Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana. Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain. Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti "Sahabat Sikep" adalah kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah Blitar, Madiun propinsi Jawa Timur dan daerah-daerah dan kota antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Indonesia. Dalam menjalankan ajaran ini (semenjak kematian tokoh penyebarnya Samin tahun 1914 dalam pengasingan di kota Padang Sumatra Barat) kaum 'Sedulur Sikep' sudah mulai beradaptasi dengan perubahan zaman dan tidak terlalu kaku dalam menjalankan konsep murni ajaran tersebut. Namun terdapat juga segolongan masyarakat Sikep yang menentang pembaruan dan menuntut dijalankannya kembali ajaran Samin secara murni.




http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin

Eksistensi Wong Samin di Era Modern

Eksistensi Wong Samin di Era Modern


Sedulur Sikep atau lebih dikenal sebagai Wong Samin diketahui bermula dari Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarjo, Kabupaten Blora. Desa ini terletak kurang lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah perkampungan yang terletak di tengah hutan jati. Menuju Klopoduwur, maka akan melintasi areal hutan jati yang termasuk wilayah kerja HPH (Hak Pemangku Hutan) Kabupaten Blora. Sepajang jalan nampak penduduk yang hidup selaras dengan alam. Di kanan-kiri jalan banyak tumpukan kayu bakar kering yang telah diikat dengan rapi menunggu untuk diangkut. Beberapa perempuan tampak mengumpulkan daun-daun jati untuk dijual ke pasar-pasar di seputar Blora. Sekali dua melintas sepeda-sepeda dengan membawa kayu bakar di belakangnya. Meskipun desa ini berada di tengah-tengah hutan, namun kondisi jalan mulus terawat. Desa tempat munculnya ajaran Samin ini terbilang cukup maju, listrik telah menerangi sejak tahun 1987. namun kesan tradisional tidak hilang semuanya. Beberapa rumah masih menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantai tanah.
Ramah, itulah kesan yang kami tangkap saat kami bertanya letak rumah Kepala Desa Klopoduwur. Bahkan dengan penuh semangat memberikan gambaran mendetail rumah Kepala Desa mereka. Suasana kental pedesaan yang masih akrab masih terasa disini. Bukan hanya lingkungan fisik, kultur yang ada pun masih lekat dengan kehidupan desa.
Samin di Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Adalah Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya.
Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan.Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Berdasarkan catatan, pada tahun 1907 Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil. Ia bergelar Prabu Panembahan Suryangalam yang berarti mataharinya dunia. Namun sayang, hanya selama 40 hari Samin Surosentiko menjadi Ratu Adil. Ia beserta delapan pengikutnya, ditangkap dan kemudian diasingkan di Padang, Sumatra Barat hingga meninggal pada tahun 1914.
Nama Samin itu sendiri berartikan nama yang bernafas wong cilik. Pada perkembangannya penganut ajaran ini lebih menyukai disebut Sedulur Sikep. Hal ini dikarenakan pada abad ke 18-an Wong Samin mempunyai citra jelek di mata masyarakat Jawa dan dianggap sebagai sekelompok orang yang kelewat lugu hingga terkesan bodoh dan naïf. “Pandangan seperti itu salah besar, sangat salah,” sangkal Widodo, Kepala Desa Klopoduwur. Sedangkan sebutan Sedulur Sikep diartikan sebagai orang yang baik dan jujur.
Ia mengakui bahwa istilah Samin memang berkonotasi negatif, hal ini karena stigma yang berkembang membentuknya demikian, sejak zaman feodal komunitas samin menjadi komunitas yang tidak bisa diatur oleh pemerintah Belanda. Padahal yang sebenarnya orang samin adalah orang yang kelewat jujur, dengan tingkat kesopanan dan kegotongroyongannya yang sangat tinggi.
Perlawanan Tanpa Kekerasan
Widodo bercerita, ajaran Samin sedianya digunakan untuk melawan penjajahan Belanda. “Orang samin melakukan perlawanan tanpa kekerasan, namun dengan menyendiri dan membentuk komunitas sendiri,” ujar Kades bertubuh subur ini. Lebih lanjut Widodo menjelaskan, Sedulur Sikep bukan hanya menyendiri namun mereka membuat peraturan sendiri.
Komunitas Sedulur Sikep ini juga tidak mau membayar upeti/pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Menurut pengertian mereka, upeti itu bukan untuk kepentingan mereka maupun masyarakat pribumi namun hanya untuk kepentingan pemerintah Belanda. Dalam segi kehidupan Sedulur Sikep mempunyai lima ajaran yang dianut. Komunitas ini tidak bersekolah; tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala.Selain itu mereka juga tidak berpoligami; dan tidak memakai celana panjang. Biasanya mereka memakai baju lengan panjang tanpa krah dan celana hitam sebatas lutut atau biasa disebut celana komprang. Komunitas Sedulur Sikep juga pantang berdagang, hal ini merupakan penolakan terhadap kapitalisme. Komunitas Sedulur Sikep yang terisolir dan memiliki peraturan sendiri ini tentu saja merepotkan pemerintah Belanda. “Mereka melawan Belanda bukan dengan mengangkat senjata, tapi dengan penyangkalan,” ujar Widodo. Sebenarnya perilaku orang Samin 'Sikep' sangat jujur, lurus dan polos (lugu) tetapi juga kritis. Kepolosan mereka justru membingungkan orang. Menurutnya, orang samin dikatakan membingungkan hanya dari masalah bahasa saja.”Bahasa yang mereka pakai itu bahasa naluri, jadi kita harus pintar-pintar mengolah bahasa” ungkap ayah tiga anak ini menambahkan.
Widodo mencontohkan jika kita bertanya berapa anak mereka, maka akan dijawab dua, laki-laki dan perempuan, namun jika kita bertanya berapa jumlah anaknya, maka jawabanya bisa tiga, empat, atau lima bahkan akan disertai penjelasan berapa yang laki-laki dan berapa yang perempuan. Widodo memandang bahasa yang digunakan sedulur Samin/ Sikep seperti sabdo. Artinya, bahasa mereka merupakan bahasa yang sekali mengucap, tidak ada kata-kata yang ditarik kembali dan tidak akan diingkari.
Tergerus Zaman
Pada perkembangannya, tidak urung pengaruh kemajuan zaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium bahkan alat-alat elektronik telah menyentuh kehidupan mereka. Bahkan kesan sebagai komunitas yang terisolasi dari dunia luar pun telah sirna.
Widodo menuturkan, setelah listrik masuk ke desa ini pada tahun 1987 maka perkembangan kehidupan masyarakat memang semakin cepat. Apalagi jalur transportasi Blora – Randublatung melintasi desa ini. Selain itu Widodo menilai peran dari pemerintah daerah untuk ikut melestarikan sangat kurang.
”Perkembangan zaman, teknologi dan tidak adanya tangan panjang yang nguri-nguri, akhirnya ya jadinya pupus sudah,” ujarnya menyayangkan. Perhatian dari pemerintah memang kurang, bahkan untuk penelitian pun sempat ditutup. Diakui oleh Widodo, Sedulur Sikep yang masih terbilang memegang adat dengan kuat telah habis akhir tahun lalu. “Namanya Mbah Kromo,” terangnya.Sedangkan masyarakat di Klopoduwur sekarang ini telah terakulturasi menjadi masyarakat seperti pada umumnya. Bahkan ada beberapa yang berbesan dengan orang di luar daerah. “Kami merasa kehilangan salah satu budaya/tradisi,” ucapnya.
Yang diharapkan tidak terpupus zaman adalah nilai-nilai positif yang telah ada pada masyarakat Samin. Misalnya kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi. Sampai sekarang, sebenarnya nilai-nilai kegotongroyongan dan kejujuran tanpa disadari masih kental terasa.
Widodo mencontohkan sewaktu ada tetangga yang punya hajat, maka tanpa disuruh pun para Tetangga akan secara suka rela dan beramai-rami membantu hingga selesai. Bahkan untuk mengerjakan sawah banyak yang masih dilakukan dengan sistem sambatan (bergotong royong). Selain kejujuran dan kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan etos kerjanya yang tinggi. Widodo bercerita rumah Sedulur Samin biasanya adalah rumah yang sangat sederhana. Umumnya berdindingkan gedek (anyaman bambu) atau dari kulit pohon dengan atap dari daun jati.
Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Ruang tamu biasanya juga digunakan sebagai ruang makan, ruang keluarga. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Adapun bentuk rumahnya biasanya bekok lulang (limasan kampung).
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Di Desa Klopoduwur, petilasan komunitas Sedulur Sikep lebih dikenal dengan sebutan Karang Pace. Ditempat tersebut dulunya ditinggali kurang lebih tigapuluhan Kepala Keluarga (KK) Sedulur Sikep.
Etos kerja Sedulur Sikep juga terkenal sangat tinggi. Biasanya mereka akan berangkat ke Ladang, sawah maupun hutan pada pagi buta dan baru kembali saat senja menjelang. Di siang hari, suasana senyap akan meliputi pemukiman mereka karena masing-masing masih sibuk bekerja. Bagi mereka siang merupakan waktu untuk berkarya sebaik-baiknya.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan juga sangat positif. Biasanya mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi bahkan sering melakukan ritual-ritual khusus untuk kelestarian alam. Hal ini selaras dengan pola pikiran mereka yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Widodo mengibaratkan jika tokoh-tokoh samin melihat keadaan alam sekarang mungkin mereka akan menangis. Maklumlah, mereka sangat dekat dengan alam bahkan setiap segi kehidupannya selalu berada di alam.
Sejak tahun 60-an, sarana pendidikan telah masuk ke desa ini. Sampai sekarang telah ada tiga buah SD (Sekolah Dasar) dan satu MI (Madrasah Ibtida’iyah). Keturunan Sedulur Sikep juga tak lagi antisekolah. Anak turunannya yang kelahiran tahun delapan puluhan semuanya sudah mengenyam pendidikan.
Biasanya orang tuanya juga sudah mendukung pendidikan anaknya. Memang, ketika Belanda masih menjajah Indonesia, masyarakat Samin menolak sekolah. Mereka menganggap sekolah menciptakan bendara (kaum elitis) yang akan menjadi antek Belanda dan bukan lagi kawula (rakyat). Kini, masyarakat Samin yang lebih dikenal dengan orang Sikep itu sudah merasa menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
Widodo melihat karena perkembangan jaman dan teknologi wajar saja bila mereka (anak muda) mungkin merasa risih. “Kita sendiri tidak perlu malu dikatakan sebagai orang Samin,” pesannya pada generasi muda. Karena sesungguhnya Sedulur Sikep memiliki khasanah budaya yang luhur, dengan kehidupan mereka yang sederhana. Satu komunitas itu terasa damai, rukun, segala sesuatu diselesaikan untuk mencari bagaimana baiknya. Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin.
Samin atau saminisme merupakan suatu ajaran mengenai idealisme atau pandangan hidup. Berasal dari kata “sami-sami” yang berarti bersama-sama..
Menurut Sutarto Kepala Desa Menden Rejo, Kecamatan Kradenan, Randublatung, Blora, sampai sekarang di daerah Randublatung masih banyak beberapa kampung yang dihuni oleh orang-orang Samin. Rasa kekeluargaan dan kerukunan terhadap sesama masih kental pada diri mereka. Contoh kongkrit yang terjadi saat ini yaitu ketika pengeboran minyak di daerah Cepu mengalami kebakaran. Perusahaan tersebut memberi dana kompensasi pada daerah sekitar yang terkena dampak kebakaran tersebut. Yang terjadi,bahwa semua orang Samin yang tinggal didaerah tersebut tidak mau menerima dana yang diberikan. Mereka hanya berkata “Opo tega, sedulure kena musibah malah awake dewe nrimo bantuan seko mereka, justru awake dewe kudu mbantu sadulur sing lagi susah”. Bertahan ditengah modernisasi demi sebuah tradisi tidaklah mudah. Samin salah satu suku yang mampu beertahan dalam melaksanakan ajaran leluhurnya. Meski sebagian masyarakat memandang samin sebelah mata (kekonyolan). Namun, kejujuran dan kerukunan terhadap sesama saudaranya, belum tentu bisa ditemui oleh orang-orang yang sudah terkontaminasi sebuah kata modernisasi.


http://santuncahblora.blogspot.com/2007/04/eksistensi-wong-samin-di-era-modern.html

Tokoh Komunitas Samin Diusulkan jadi Pahlawan Nasional

Komunitas Samin yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Samin Surosentiko dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.

"Ajaran Samin tidak hanya dikenal di Blora, tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di antaranya mengajak pengikut dan masyarakat melawan Belanda yang sering bertindak kasar dan memeras rakyat," kata tokoh Sedulur Sikep, Pramugi Prawiro Wijoyo, di Blora, Jawa Tengah, Senin (29/11).

Menurut dia, ajaran yang diberikan Samin Surosentiko adalah ajaran budi pekerti luhur dan perlawanan kepada penjajah Belanda tanpa senjata, dengan menggali potensi lokal masyarakat yang jujur dan suka menolong untuk mengembangkan ajarannya.

"Menurut kami, dia layak sebagai pahlawan nasional, sebab Samin merupakan sosok pejuang yang membawa pencerahan dengan caranya sendiri. Saya sebagai orang yang dituakan dari 500 orang anggota Sedulur Sikep di Desa Sambongrejo, saat ini sedang mengonsep usulan secara tertulis untuk diajukan," katanya.

Bupati Blora Djoko Nugroho, mengatakan, setuju dengan usulan tersebut dan akan berusaha meneruskan usulan Sedulur Sikep ke Pemerintah Pusat, serta berharap kekayaan lokal dan kearifan yang ada di masyarakat bisa dilestarikan.

Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (DKPPOR), Suntoyo, mengatakan, usulan Sedulur Sikep tersebut sebenarnya merupakan salah satu program DKPPOR untuk memunculkan tokoh daerah ke tingkat nasional. "Jadi itu sudah merupakan program kami, sebab perjuangan Samin Surosentiko, memang patut diberikan penghargaan," katanya.

Menurut dia, proses untuk mengangkat Samin sebagai pahlawan nasional, saat ini masih panjang, karena masih harus menggali data dan sejarah perjuangan serta kajian dan bukti kongkrit yang ada. "Dimungkinkan, harus ke Belanda untuk mencari dan menggali datanya," katanya. (Ant/OL-04)



http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/29/184714/92/14/Tokoh-Komunitas-Samin-Diusulkan-jadi-Pahlawan-Nasional