Thursday, 11 November 2010

Vagina Haus Sperma

Vagina Haus Sperma


Katrin Bandel




Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdebat dengan seorang kawan mengenai karya Ayu Utami. Setelah membaca beberapa tulisan saya yang mengkritik karya itu dan mempertanyakan politik sastra seputarnya, kawan saya tersebut dapat memahami pandangan saya.

Tapi meskipun demikian, baginya novel Ayu Utami tetap memiliki sebuah kelebihan: Menurut pengamatannya, novel Saman merupakan karya pertama yang dengan cukup tepat merepresentasikan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu, yaitu gaya hidup yang dipilih sebagian perempuan kelas menengah perkotaan di Indonesia (terutama Jakarta). “Memang seperti itulah gaya hidup dan pergaulan sebagian kerabat dan kenalan saya di Jakarta”, jelas kawan saya itu dengan merujuk pada deskripsi kehidupan keempat tokoh perempuan muda dalam novel Saman dan Larung. “Baru dalam novel Ayu Utami saya menemukan representasi realitas yang saya kenal tersebut.”

Mungkin penilaian kawan saya tersebut ada benarnya. Tidak banyak novel yang menggambarkan kehidupan perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelum terbitnya Saman (1998), apalagi dengan fokus perilaku seks. Menurut pandangan saya, pada dasarnya gaya hidup perempuan kelas menengah bukan tema yang tidak menarik atau tidak relevan sebagai tema utama sebuah novel Indonesia.

Namun ada hal yang bagi saya terasa sangat mengganggu pada novel Saman/Larung dan wacana seputarnya. Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, novel Ayu Utami tersebut umumnya tidak diperkenalkan dan dibicarakan sekadar sebagai representasi gaya hidup sekelompok perempuan perkotaan (yaitu kelompok masyarakat yang relatif kecil).

Karya Ayu Utami kerapkali diperkenalkan sebagai karya feminis yang dengan berani dan subversif menyuarakan perlawanan baik terhadap tabu seputar seksualitas maupun terhadap rejim Orde Baru. Disamping itu, bahasa dan gaya tulisnya konon mengandung pembaharuan yang mengagumkan.

Sejauh ini saya belum pernah membaca pembahasan yang dapat menerangkan secara argumentatif mengapa karya Ayu Utami dapat disebut feminis atau pembaharuan bahasa dan gaya tulis apa yang dilakukannya. Tulisan yang saya baca sering begitu saja mengasumsikan kelebihan-kelebihan tersebut.

Dalam pembahasan berikut saya ingin menjelaskan mengapa penilaian tersebut, khususnya penilaian bahwa karya Ayu Utami adalah karya feminis, merupakan penilaian yang salah dan menyesatkan. Di samping itu saya ingin menunjukkan bahwa kesan yang menyesatkan tersebut bukanlah hal yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ayu Utami dan komunitasnya.

Baik dalam novelnya, maupun dalam sebuah esei seputar proses kreatifnya, Ayu Utami sendiri dengan cukup jelas menyampaikan harapannya agar novelnya dibaca sebagai karya feminis dan sebagai pembaharuan gaya tulis. Pesan serupa juga disampaikan dalam sebuah tulisan yang mengawali resepsi novel Ayu Utami di luar Indonesia, yaitu tulisan Goenawan Mohamad berjudul “Ayu Utami – The Body Is Heard” dalam buku 2000 Prince Claus Awards.

Saya sudah cukup sering menulis dan berbicara tentang Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Masih perlukah pembahasan itu diperpanjang? Bukankah masih banyak karya sastra lain yang lebih menarik dibahas?

Bagi saya, Ayu Utami tetap relevan dibahas bukan karena karyanya luar biasa menarik atau karena tidak ada karya lain yang pantas dibahas, tapi karena sampai saat ini penilaian menyesatkan yang saya sebut di atas tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak jarang saya menjumpai orang yang secara spontan menghubungkan feminisme dengan Ayu Utami, kadang-kadang bahkan sambil menyamakan feminisme dengan pembebasan seksual atau dengan seks bebas. Definisi feminisme yang keliru tersebut cukup merugikan menurut pandangan saya karena menimbulkan kesan seakan-akan “maju” atau “terbelakang”nya seorang perempuan tergantung terutama pada perilaku seksualnya.

Di samping itu, di dunia sastra dan kritik sastra (termasuk dunia akademis) pun pandangan tentang kelebihan-kelebihan karya Ayu Utami tetap kuat. Hal itu bukan hanya menguntungkan Ayu Utami dan komunitasnya secara finansial dan dari segi reputasi, tapi juga mempengaruhi penilaian terhadap karya sastra lain.

***

Pada bulan Maret-April 2008 sebuah esei saya yang berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” diterbitkan di koran Republika. Esei tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di sebuah mailing list, yaitu mailing list jurnalperempuan@yahoogroups.com. Di sini saya tidak bermaksud melanjutkan perdebatan tersebut secara keseluruhan, tapi saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk secara khusus membahas salah satu teks yang memiliki peran penting dalam wacana seputar representasi Ayu Utami dan karyanya di Eropa. Teks tersebut adalah tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard” oleh Goenawan Mohamad yang dimuat di buku 2000 Prince Claus Awards.

Buku yang diterbitkan dalam rangka merayakan dan mendokumentasikan pemberian penghargaan Prince Claus kepada ke-11 pemenang (satu pemenang utama dan 10 pemenang lainnya, di antaranya Ayu Utami) pada tahun 2000 tersebut tidak dijual secara bebas, juga tidak dapat diakses lewat internet.

Karena keterbatasan akses itu, dalam esei “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” saya terpaksa hanya menggunakan beberapa bagian dari teks tersebut, yaitu bagian yang sempat dikutip oleh penulis lain. Namun saat ini buku 2000 Prince Claus Awards sudah berhasil saya dapatkan. Maka kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk membahas teks tersebut secara lebih menyeluruh.

Tulisan Goenawan tersebut relatif pendek (2 halaman), tidak jauh berbeda daripada tulisan-tulisan lain dalam buku itu (kecuali tulisan tentang pemenang utama). Novel Saman (yaitu satu-satunya karya fiksi Ayu Utami yang sudah terbit pada saat itu) hanya dibahas secara amat singkat di akhir tulisan tersebut. Selain itu Goenawan merujuk pada beberapa esei Ayu Utami, namun tidak menyebut judulnya dan di mana esei tersebut diterbitkan. Oleh karena itu, pembacaan Goenawan terhadap esei tersebut sulit dinilai. Referensi lengkap juga tidak disebut untuk buku bawah tanah tentang Suharto (“a readable booklet on Suharto’s business empire”) yang konon ditulis Ayu Utami.

Yang pasti, penyebutan tulisan-tulisan tersebut menimbulkan kesan bahwa Ayu Utami sudah cukup lama aktif di dunia penulisan pada saat dirinya menerima Prince Claus Award. Hal itu berseberangan dengan kenyataan bahwa Ayu Utami tidak dikenal di dunia sastra Indonesia sebelum novel Saman memenangkan sayembara roman DKJ pada tahun 1998.[1]

Fokus utama tulisan Goenawan Mohamad adalah posisi Ayu Utami di masa Orde Baru, khusunya hubungannya dengan kekuasaan. Goenawan menggambarkan Ayu Utami sebagai penulis muda yang aktif dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Sebagian besar dari tulisan Goenawan yang pendek itu menggambarkan keterlibatan Ayu Utami di AJI dan ISAI[2]. Sejauh mana deskripsi tersebut tepat dan sesuai dengan kenyataan, sulit saya nilai. Yang pasti, representasi Ayu Utami sebagai disiden politis tersebut kemudian dikutip dan direproduksi oleh beberapa penulis dan institusi di Eropa.[3]

Secara khusus, Goenawan Mohamad kemudian berfokus pada persoalan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan dengan tubuh perempuan. Sayang sekali pembahasan tersebut bersifat sangat abstrak dan umum, sehingga sulit dipahami secara konkret apa yang dimaksudkan oleh Goenawan.

Menurut pandangannya, di bawah rejim Orde Baru dimana kata-kata sering “dikorbankan” (“words [...] became victims of sacrifice”), manusia selalu terancam “kehilangan diri” dalam menggunakan bahasa (“The speaker [...] loses his selfhood.”) Ayu Utami, begitu penjelasan Goenawan selanjutnya, menggeluti dunia penulisan agar tidak kehilangan diri (“Not to lose her selfhood, that is what pushes Ayu further into writing.”). Mengenai cara Ayu Utami melakukan hal itu Goenawan Mohamad mengatakan:

“For a writer, however, there was a risk that the first casualty of such a confrontation would be his or her own relation with words. She or he could be drawn into imitating the regime’s practice – i.e. treating language as a mere sequence of messages. Ayu was one of the very few Indonesian writers who resisted the prevailing trend. The literary is political only when it stays ‘literary’, meaning that it is free from what she calls ‘functional language’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

(Yang dimaksudkan dengan “confrontation” di kalimat pertama adalah konfrontasi dengan rejim Orde Baru.)

Argumentasi tersebut terkesan ganjil bagi saya. Mengapa Goenawan berpendapat bahwa rejim Orde Baru menggunakan bahasa “sekadar sebagai rangkaian pesan”? Bukankah justru sebaliknya, yaitu rejim Orde Baru dengan sengaja dan terencana menggunakan bahasa sebagai alat ideologis, dalam arti bahwa bahasa Orde Baru sering sama sekali tidak menyampaikan sebuah pesan secara apa adanya? Bukankah misalnya kata “pembangunan” sering bermakna penggusuran dan korupsi, “persatuan dan kesatuan” bermakna kekerasan dan pembungkaman, dan sebagainya? Bukankah bahasa Orde Baru penuh eufemisme (misalnya istilah seperti “lembaga pemasyarakatan”) dan kebohongan (misalnya pemalsuan sejarah seputar peristiwa 65)?

Menurut pengamatan saya, tulisan yang menjadi ancaman bagi rejim Orde Baru justru tulisan yang menggambarkan realitas sehari-hari di Indonesia secara apa adanya. Maka tidak mengherankan bahwa karya sastra yang dilarang atau disensor umumnya karya realis yang menyampaikan secara terbuka apa yang umumnya disembunyikan dalam wacana publik. Contohnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer dan puisi Wiji Thukul, juga trilogi Ahmad Tohari yang sempat disensor.

Sebelum menyampaikan argumen di atas seputar bahasa yang digunakan Ayu Utami, Goenawan Mohamad menyebut usahanya bersama kawan-kawan (termasuk Ayu Utami) untuk “tidak membiarkan rejim meraih kemenangan total dalam perang informasi” (“not to give the regime the pleasure of getting a total victory in the information war”). Perang informasi itulah yang kemudian, menurut argumentasi Goenawan dalam kutipan di atas, mengandung risiko bagi penulis.

Saya dapat menerima argumen Goenawan Mohamad bahwa ideologi yang dominan, dalam hal ini ideologi Orde Baru, sulit ditolak. Ideologi dominan umumnya hadir dalam kegiatan dan bahasa sehari-hari tanpa kita sadari. Mengambil jarak dan membangun sikap kritis terhadap ideologi itu adalah pekerjaan yang cukup berat.

Namum lompatan argumentasi seputar gaya tulis Ayu Utami sulit saya ikuti. Goenawan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan sastra yang “tetap ‘sastrawi’” dan “bebas dari ‘bahasa fungsional’”. Disamping itu, kalau memang gaya bahasa Ayu Utami memiliki kelebihan tertentu yang membuatnya lebih subversif atau lebih ampuh dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru, seharusnya hal itu dijelaskan, bukan sekadar diasumsikan. Dan saya tidak menemukan penjelasan semacam itu dalam tulisan Goenawan Mohamad tersebut.

Karena itu, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa Ayu Utami merupakan “salah satu dari sangat sedikit penulis Indonesia yang melawan kecenderungan umum” adalah pernyataan yang sangat berlebihan. Bukankah banyak penulis, mungkin bahkan sebagian besar sastrawan Indonesia, bersikap kritis pada rejim Orde Baru – terutama sekali pada tahun-tahun terakhir rejim tersebut? Dan bukankah dalam situasi dimana kebebasan berpendapat sangat terbatas, banyak penulis memilih untuk tidak menyampaikan kritik mereka bukan sebagai protes yang lantang dan apa adanya, tapi mencari gaya dan cara penyampaian yang berbeda? Dalam hal apakah gaya tulis Ayu Utami begitu khas sehingga pantas disebut “melawan kecenderungan umum”?

Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad kemudian menghubungkan persoalan perlawanan terhadap rejim Orde Baru dan persoalan bahasa Ayu Utami yang konon menjadi terobosan baru tersebut dengan keperempuanan Ayu Utami:

“For this reason, I believe, she wrote a novel that uses words differently; making a paradigm of, as she puts it in an essay, kudangan. Kudangan is a moment when a Javanese mother, holding and touching her baby joyously and excitedly, sings words that carry nonverbal signification and sensuousness. In Ayu Utami’s highly acclaimed novel, ‘Saman’, one can feel the sensuous materiality of the words in its syntaxes. My impression is that her experience as a woman in today’s Indonesia has urged her to reinstall the presence of the body in language, as if insisting, to paraphrase Hélène Cixous’s slogan of 1974, that her body ‘must be heard’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

Feminis Perancis Hélène Cixous terkenal terutama karena tulisan-tulisannya mengenai écriture féminine, “penulisan feminin”. Salah satu esei Cixous seputar tema tersebut yang paling sering disebut adalah “Le rire de la Méduse” (“The Laugh of the Medusa”, 1975[4]). Dari esei itulah Goenawan mengutip pandangan Cixous mengenai tubuh dan bahasa.

Écriture feminine merupakan konsep yang cukup rumit dan sulit dipahami. Menurut Cixous dan beberapa pemikir pascastrukturalis lainnya, bahasa yang umumnya kita gunakan adalah bahasa yang maskulin dan logosentris, atau “phallogosentris”. Kebiasaan berbahasa yang dominan membuat kita berbicara/menulis seakan-akan kebenaran bersifat tunggal dan bisa diekspresikan secara linear, berjarak (objektif) dan terstuktur. Écriture féminine adalah usaha untuk mencari dan mengembangkan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa yang mampu mengakomodasi dorongan-dorongan bawah sadar, yang tidak mengharuskan rasio menguasai atau menindas tubuh, dan yang lebih menghormati pluralitas dan ambiguitas. Seperti apakah “bahasa feminin” tersebut? Sudah adakah penulis yang berhasil menciptakannya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut tetap terbuka.

Maka pernyataan Goenawan Mohamad tentang bahasa Ayu Utami di atas merupakan klaim yang luar biasa! Menurut pandangan Goenawan, Ayu Utami terdorong untuk “menghadirkan kembali tubuh dalam bahasa” (“reinstall the presence of the body in language”), sesuai dengan harapan Cixous agar perempuan membuat “membuat tubuhnya didengar”. Lebih jauh lagi, di mata Goenawan, Ayu Utami bukan hanya berusaha menciptakan bahasa baru yang diimpikan Cixous tersebut tapi dia benar-benar sudah berhasil menciptakannya! Paling tidak itu yang disampaikan oleh judul tulisan Goenawan, yaitu “The Body Is Heard” – tubuh bukan lagi mesti didengar, tapi sudah didengar!

Klaim tersebut sangat berlebihan menurut pandangan saya, terutama karena Goenawan Mohamad sama sekali tidak memberikan argumentasi yang lebih mendetil ketimbang sekadar asumsi-asumsi abstrak dan sulit diikuti dalam alinea yang saya kutip di atas. Apa yang dimaksudkan dengan “sensuous materiality of the words in its syntaxes” yang konon bisa dirasakan dalam novel Saman? Dengan cara apakah Ayu Utami menghadirkan tubuh dalam bahasa?

Seperti apa sebetulnya bahasa yang digunakan Ayu Utami dalam novel Saman? Ayu Utami sering memakai kata atau ekspresi yang kurang lazim digunakan (misalnya “selarit matahari”, “ceruk jalan”[5], dsb.), atau yang bahkan sama sekali tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia (misalnya “bujet”[6]). Dia sering menggunakan perbandingan yang unik atau ganjil, misalnya “pucat bagai cicak”[7] atau “wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening”[8].

Di samping itu, dalam novel tersebut kita sering menemukan kalimat-kalimat “berfilsafat” yang terkesan abstrak atau “puitis”, tapi tidak begitu jelas maksudnya (paling tidak bagi saya), misalnya: “Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu.”[9]

Itukah écriture féminine? Ciri khas apa yang membuat bahasa Ayu Utami tersebut “lebih perempuan” daripada bahasa penulis lain? Dan di manakah perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang konon hadir dalam bahasa Ayu Utami?

Tulisan Goenawan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang saya temukan di situ hanya asumsi dan renungan abstrak yang tidak dipertanggungjawabkan lewat argumentasi dan bukti.

***

Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bicarakan di atas hanya secara sekilas saja menyebut tema seksualitas dalam karya Ayu Utami. Fokusnya adalah representasi Ayu Utami sebagai peserta aktif dalam perjuangan melawan rejim Orde Baru. Mungkin fokus semacam itu dianggapnya lebih cocok dalam memperkenalkan Ayu Utami di luar negeri dan mempertanggungjawabkan pemberian Prince Claus Award.

Namun di Indonesia unsur yang paling banyak disebut seputar kedua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), adalah “keterbukaan baru” dalam representasi seksualitas. Pada bagian-bagian novel yang menceritakan keempat tokoh perempuan Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, seks menjadi tema utama. Perilaku seksual yang diceritakan hampir sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bahwa yang diceritakan bukanlah hubungan heteroseksual yang disahkan oleh surat nikah. Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah, namun akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin menghianati suaminya dengan sekaligus “memurtadkan” seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan. Kiranya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa dalam kedua novel tersebut seksualitas direpresentasikan dengan cara yang provokatif.

Namun representasi seksualitas tersebut bukan hanya bersifat provokatif, tapi juga dengan sangat jelas dihubungkan dengan persoalan gender dan dengan feminisme. Seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kris Budiman dalam bukunya Pelacur dan Pengantin Adalah Saya (2005), perlawanan terhadap ideologi patriarki alias falosentrisme terungkap dengan cukup eksplisit pada beberapa bagian kedua novel Ayu Utami tersebut. Khususnya, stereotipe perempuan sebagai pihak yang pasif di hadapan laki-laki yang aktif digugat antara lain dalam deskripsi hubungan seksual dimana vagina digambarkan sebagai bunga karnivora yang menjebak dan menghisap “binatang yang [...] bodoh, dan tak bertulang belakang”[10] alias penis. Deskripsi itu bersama beberapa bagian novel yang lain menurut Kris Budiman “menunjukkan bahwa modus relasi seksual perempuan vis-a-vis laki-laki sebetulnya bukanlah intrusi atau secara pasif ‘di-coblos’, melainkan secara aktif mengkonsumsi, ‘meng-hisap’”[11].

Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan terhadap stereotipe perempuan yang pasif dengan mudah dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa novel Ayu Utami jauh dari nilai heteronormatif dan falosentris, atau bahwa Ayu berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda (“lebih perempuan”) daripada yang kita kenal selama ini (di Indonesia). Saman dan Larung hadir sebagai novel yang jelas-jelas minta dibaca sebagai novel feminis.

Feminisme macam apakah itu? Tampak dengan cukup jelas bahwa Ayu Utami terpengaruh oleh teori yang sama atau sejalan dengan yang dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bahas di atas. Ide-ide yang diungkapkan dalam kedua novel itu tampaknya sengaja disesuaikan dengan teori-teori feminisme Perancis (feminisme pascastruktural), paling tidak secara permukaan. Seperti yang sudah saya bicarakan secara sekilas di atas, menurut pemikiran Cixous dan pemikir lain yang “sealiran” (terutama Luce Irigaray), cara berpikir yang dominan dalam masyarakat modern (Barat) bersifat maskulin atau falosentris.

Cirinya antara lain kepercayaan pada kebenaran yang tunggal, hierarki yang kaku dan pandangan humanis tentang individu yang bebas dan mandiri. Bagi pemikir tersebut, femininitas menjadi semacam konsep alternatif yang dipertentangkan dengan maskulinitas yang dominan itu – sebuah sikap hidup yang dinilai lebih positif.

Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung dimana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal”[12], khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”, yaitu kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan: “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi”[13].

Perbandingan dengan dunia militer itu pun tentu merupakan unsur konstruksi maskulinitas yang sangat sesuai dengan stereotipe negatif yang ingin dibangkitkan di sini. Disamping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal/rasio yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan”[14], dan dia bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras”[15]. Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata “ngaceng”) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri.

Pendek kata, tokoh abang Shakuntala tampil sebagai wujud atau lambang falosentrisme par excellence. Dan penilaian yang ingin disampaikan terhadap sikap hidup semacam ini pun tampak dengan amat jelas. Karena begitu berlebihan, sifatnya terkesan konyol, dan akhirnya bahkan membawa celaka: Si abang meninggal disebabkan sebuah kecelakaan lalulintas ketika dia mencoba merealisasikan ambisinya untuk mengelingi pulau Jawa “dengan kecepatan puncak” [16] di atas sepeda motornya.

Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?”[17].

Dalam sebuah esei berjudul “Membantah mantra, membantah subjek” di jurnal Kalam (edisi 12, 1998) Ayu Utami secara langsung menghubungkan sikap tokoh Shakuntala dalam novel Saman dengan sikapnya sendiri sebagai pengarang. Di bagian lain dari esei yang sama Ayu mengatakan: “Mengarang, bagi saya, adalah kesediaan melibatkan, meleburkan diri, dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan” – sangat mirip dengan ungkapan Shakuntala di atas. Dengan pilihannya untuk “menjadi tidak genap” (seperti novel Ayu yang diterbitkan sebagai “fragmen”), biseksualitasnya, dan pemberontakannya terhadap nilai-nilai patriarkal, Shakuntala menjadi semacam tokoh perempuan ideal yang sekaligus melambangkan “filsafat posmo” yang dipilih Ayu sebagai kredo kepengarangannya.

Seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad dalam tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard”, Ayu Utami sendiri pun mempersoalkan gaya tulisnya dan menggambarkan gaya tulis tersebut sebagai pilihan yang istimewa dan baru. Dalam eseinya, Ayu menceritakan betapa dia “sengaja” memilih menulis “novel polifonik” dengan “diksi yang berbeda bagi masing-masing Aku”. Namun dia juga mengaku bahwa “novel itu tidak sepenuhnya menurut padaku”, kadang-kadang cerita berkembang di luar rencananya sendiri.

Pengakuan tersebut tentu sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa. Bahwa dalam proses menulis ada hal-hal yang dengan sadar diatur dan diciptakan, dan ada pula hal yang timbul begitu saja tanpa sengaja, merupakan pengalaman yang pasti dikenal hampir setiap penulis.

Yang terkesan sedikit ganjil bagi saya adalah penilaian yang secara implisit terkandung dalam ungkapan Ayu tentang pengalaman mengarangnya tersebut. Bukan saja dengan sangat percaya diri dia menilai novelnya sendiri sebagai “novel polifonik” (yang berarti memuji diri sendiri sebagai “pembaharu”, pembawa gaya tulis yang masih belum lumrah di Indonesia), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana semula terkesan amat tidak kritis.

Menurut pengakuannya, pada titik tertentu tokoh-tokoh novelnya seakan-akan mulai memiliki hidup dan kemauannya sendiri, sehingga sebagai pengarang dia “terpaksa” “takluk [p]ada ciptaannya”. Meskipun menggunakan kata “terpaksa”, cukup jelas bahwa dia tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang negatif. Malah timbul kesan bahwa dia sangat membanggakannya. Sepertinya dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul “di luar rencana” itu, seakan-akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada semacam “jenius” di kedalaman dirinya yang tak perlu diragukan. Padahal dalam esei yang sama, bahkan pada alinea yang sama, dia merujuk pada pemikiran Roland Barthes tentang matinya sang Pengarang!

Saya tidak percaya pada “jenius” semacam itu. Namun saya yakin bahwa dalam setiap teks pasti ada hal-hal yang disampaikan secara eksplisit, dan ada yang ikut tersampaikan dengan tersembunyi atau tanpa sengaja. Dan menurut pengalaman saya, hubungan antara kedua jenis “isi teks” itu sering penuh ambivalensi. Misalnya dalam sebuah novel dengan pesan yang jelas, mungkin saja kita menemukan bagian yang secara agak tersembunyi justru berlawanan dengan pesan tersebut. Ambivalensi semacam itu biasanya sangat menarik disoroti dan diteliti, dan itulah yang ingin saya lakukan dalam pembahasan saya terhadap novel Ayu Utami.

Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, yaitu apa yang sudah saya sebut di atas: membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotipe pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.

Dalam representasi hubungan homoseksual antar-perempuan (lesbianisme), novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100%. Namun pada saat sedang patah hati karena dikecewakan oleh pacarnya, dia tidak menolak ketika didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah.

Stereotipe yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan oleh laki-laki! Disamping itu, sebuah prasangka yang sering kita dengar dari orang awam tampaknya justru terbukti benar di sini, yaitu kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila untuk bergaul dengan orang seperti Shakuntala.

Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme, dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya untuk mencoba masturbasi, seperti yang misalnya dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng[18]?

Meskipun hampir seluruh kisah keempat sahabat Shakuntala, Laila, Cok dan Yasmin itu berkisar pada pengalaman seksual mereka, masturbasi hampir tidak pernah disebut, paling tidak masturbasi yang dilakukan perempuan. Misalnya pada bagian akhir Saman yang terdiri dari email Yasmin dan Saman, Saman memberitahukan bahwa dia masturbasi, dan Yasmin membalas bahwa dia membayangkan Saman pada saat dia melakukan hubungan seks dengan suaminya[19] – hanya tokoh laki-laki yang melakukan masturbasi!

Absennya masturbasi tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah gejala lain yang terdapat pada representasi kenikmatan seksual dan orgasme perempuan dalam novel Saman/Larung. Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai melakukan hubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk tindakan sang pacar merangsang alat kelaminnya dengan menggosokkannya pada payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu, dan dia pun memutuskan untuk berhenti menjaga keperawanannya[20].

Di sini timbul kesan bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus (penetrasi penis ke dalam vagina), sedangkan laki-laki mempunyai alternatif lain untuk mencapai orgasme. Hal yang sama terjadi pada Laila saat dia berhubungan seks dengan pacarnya Sihar tanpa terjadinya penetrasi. Di sini pun Sihar mencapai orgasme, sedangkan Laila tidak[21].

Tentu saja kisah pengalaman seksual semacam itu dapat dikatakan cukup realistis sebab mungkin saja laki-laki, dalam hal ini pacar Cok dan Sihar, hanya mementingkan kenikmatannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan seksual pasangannya. Namun peristiwa hubungan seks yang kurang memuaskan itu sama sekali tidak dihubungkan dengan sebuah kelalaian, dalam arti bahwa seharusnya si gadis pun dirangsang, misalnya dengan jari atau mulut, sehingga tanpa terjadinya koitus pun dia dapat mencapai orgasme. Seperti juga masturbasi, praktek seks di luar koitus menjadi monopoli laki-laki.

Dalam sebuah email pada Saman, Yasmin menulis: “Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak.”[22]. Kalimat ini tampaknya berlawanan dengan apa yang saya kemukakan di atas. Apakah ini merupakan kalimat pembuka untuk bercerita tentang masturbasi atau tentang praktek seksual lain yang memberi kenikmatan pada perempuan tanpa terjadinya koitus, misalnya seks oral? Ternyata tidak. Yasmin melanjutkan emailnya: “Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” Ternyata sekadar rayuan gombal untuk meredakan rasa rendah diri Saman karena tak mampu membuat Yasmin mencapai orgasme. Paling tidak, kata “orgasme” dalam konteks ini bisa dipahami sekedar sebagai ungkapan metaforis, bukan sebagai kata untuk menyebut pencapaian puncak seksual secara fisik.

Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dengan Laila? Jelaslah di sini tidak terjadi koitus, dan praktek seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun justru adegan itu diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lain, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila[23].

Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora yang sudah saya sebut di atas, yaitu cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki! Hanya kalimat terakhir yang, mungkin, dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin”[24].

Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya?!

Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora …” Artinya, lewat hubungan seks antar-perempuan Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakekat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar”[25]. Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, metafora bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.”[26].

Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum/tidak berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangan perempuannya untuk mencapai orgasme.

Yang terasa mengganggu pada gambaran sterotipikal tentang perempuan sebagai bunga dan laki-laki sebagai kumbang antara lain adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, dan kumbang sudah secara alami berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Jadi dalam penggunaan pengupamaan semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan dan sifat aktif serta tidak setia pada laki-laki pun merupakan sifat alami (kodrati). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif namun cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk menghisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?

Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya saya tentu saja mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme. Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan/orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Tapi bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya! Dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora hanyalah sekedar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan.

Representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban. Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman:

“Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah.” (Larung, hlm. 157)

Meskipun permainan seks yang digambarkan di sini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang sudah saya sebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme, sama sekali tidak dipersoalkan!

Di samping Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, masih ada seorang tokoh perempuan lain yang tingkah laku seksualnya dipersoalkan dengan cukup rinci. Tokoh yang saya maksudkan adalah Upi, seorang gadis cacat mental yang diberi perhatian khusus oleh Romo Wis (Saman). Upi menjadi tokoh yang cukup penting bagi representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung. Karena cacat mental, Upi digambarkan sebagai semacam wujud seksualitas yang tidak terkekang, yang “alami”. Bahwa birahi Upi dipahami terutama sebagai persoalan alam atau persoalan biologis, terlihat misalnya pada deskripsi Upi sebagai gadis “yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogen dan progesteronnya tumbuh matang” (Saman, hal. 76-77), juga pada keterangan ibu Upi bahwa sang gadis biasanya mengalami semacam masa birahi, yaitu dia menjadi beringas kira-kira seminggu sebelum haid[27].

Representasi seksualitas yang “alami” tersebut dalam beberapa hal tidak jauh dari seksualitas tokoh perempuan yang lain. Upi mencari kepuasan seksual secara aktif dan agresif seperti Cok dan Shakuntala, dan dia menggabungkan pemuasan birahi dengan tindakan penyiksaan seperti Yasmin, yaitu penyiksaan terhadap binatang. Namun ada hal yang khas pada representasi seksualitas Upi: gadis itulah satu-satunya tokoh perempuan yang diceritakan beronani. Masturbasi dilakukannya dengan cara menggosokkan selangkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar atau sudut tembok[28], dan selain itu dia gemar “memperkosa” binatang. Tidak diterangkan dengan rinci apa yang dimaksudkan dengan “memperkosa” di sini, hanya satu kasus yang digambarkan dengan jelas, yaitu “ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu”[29].

Seksualitas Upi awalnya digambarkan seperti berikut:

“Gadis itu terkenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda [...] seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik” (Saman, hlm. 68).

Di sini timbul kesan bahwa pada awalnya Upi tidak birahi pada laki-laki, tingkah laku seksualnya berfokus pada tubuhnya sendiri. Seks baginya bukan interaksi dengan orang lain, melainkan stimulasi tubuhnya sendiri yang memberi kenikmatan. Segala macam rangsangan psikologis yang biasanya sangat berpengaruh dalam perilaku seksual manusia yang sehat mental, tampaknya tak begitu penting baginya. Seksualitasnya sepenuhnya persoalan tubuh. Dan hubungan seks dengan laki-laki yang kemudian terjadi atas inisiatif para laki-laki yang birahi, dinikmatinya bukan karena sifat hubungan pribadinya dengan laki-laki itu tetapi semata-mata karena rangsangan seksual yang diterimanya.

Tapi interpretasi dan intervensi yang kemudian dilakukan Romo Wis sangat jauh dari gambaran awal tentang seksualitas Upi tersebut. Karena kelakuan Upi kadang-kadang agresif dan membahayakan orang lain, keluarganya menguncinya dalam sebuah bilik. Wis pun tidak mampu mencari solusi lain – pengobatan di rumah sakit terlalu mahal – tapi dia memutuskan untuk meringankan penderitaan Upi dengan membuatkan “penjara” yang lebih luas dan bersih untuknya. Dalam pembuatan tempat tinggal Upi itu, kebutuhan seksual Upi juga diperhatikan. Wis mengenal tingkah laku seksual Upi (kutipan di atas adalah cerita seseorang padanya), dan dia sendiri pun sempat dikagetkan oleh pendekatan seksual Upi: Upi tiba-tiba meraba kemaluannya[30]. Sebagai “solusi”, tempat tinggal Upi yang baru dilengkapinya dengan sebuah patung yang dipresentasikannya pada Upi dengan kata-kata berikut: “Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia laki-laki yang baik dan setia.”[31].

Kalau pada awalnya masturbasi digambarkan sebagai perilaku seksual Upi yang utama, sedang seks dengan laki-laki hanya kebetulan dikenalnya, maka dalam ucapan Wis ini kita temukan asumsi bahwa seksualitas Upi adalah birahi pada laki-laki.

Masturbasi mengalami degradasi, dalam arti: masturbasi hanya menjadi pengganti seks yang “sungguhan”, yaitu seks dengan seorang laki-laki. Anehnya, meskipun konon dibuat untuk keperluan masturbasi, patung itu tidak dilengkapi alat kelamin! Artinya, yang dibuatkan Wis adalah simbol laki-laki atau simbol phallus, bukan alat yang secara teknis pantas digunakan sebagai alat masturbasi. Atau mungkin Upi diharapkan menggosokkan selangkangannya pada patung yang terbuat dari batang pohon itu seperti sebelumnya dia menggosokkannya pada benda lain – hanya saja batang pohon itu kini telah disulap menjadi “laki-laki”. Mungkinkah batang pohon itu akan mampu memberikan kenikmatan yang lebih pada Upi hanya karena sudah dijadikan simbol “laki-laki baik dan setia”?

Seksualitas Upi yang pada awalnya digambarkan sebagai semacam hasrat primitif untuk memperoleh kenikmatan dengan merangsang alat kelamin, diarahkan dan dipersempit menjadi hasrat heteroseksual. Penggunaan kata “phallus” dan “totem” bisa dipahami sebagai rujukan pada psikoanalisis dan pada totemisme, kepercayaan kuno yang sering diasosiasikan dengan “manusia primitif”. Karena kedua kata itu digunakan sebagai nama patung laki-laki yang diharapkan menjadi objek birahi Upi, pesan yang tersampaikan adalah bahwa hasrat heteroseksual-lah yang paling wajar, alami dan asli. Keterpusatan psikoanalisis pada penis atau phallus yang banyak dikritik feminis di sini diulangi tanpa sifat kritis sama sekali, phallus malah dijadikan totem, pusat pemujaan!

Memang pembuatan patung “Totem Phallus” itu dan pemahaman seksualitas Upi yang terkandung di dalamnya diceritakan sebagai buah pikiran dan perbuatan Romo Wis. Namun karena dalam novel “polifon” ini tidak terdapat suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain, itulah satu-satunya versi yang tersampaikan. Bahwa interpretasi Wis terhadap seksualitas Upi merupakan penyempitan, sama sekali tidak dipersoalkan, sehingga saya rasa tidak terlalu mengada-ada kalau kita menganggap penyempitan itu tidak disadari penulis.

***

Kembali pada persoalan ambivalensi yang saya sebut di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa dalam novel Saman/Larung disamping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme (menempatkan perempuan sebagai pihak yang aktif, dan mengakui berbagai macam orientasi seksual) pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentis dan heteronormatif. Tentu adanya ambivalensi semacam itu tidak bisa begitu saja dijadikan indikator kegagalan sebuah karya. Ambivalensi merupakan hal yang lumrah, dan kita akan sulit mencari karya sastra yang bebas darinya.

Dalam eseinya yang sudah saya kutip di atas, Ayu mengatakan: “Saya berharap kritikus yang mencoba mendekati novel Saman dengan mencari subjek tunggal dan utuh pengarangnya akan kecewa. Sebab bukan itu sikap saya terhadap karya”. Bukankah menolak keutuhan dan ketunggalan subjek berarti membuka diri untuk menerima segala ambivalensi dan pertentangan dalam diri dan dalam karya dengan sadar dan lapang dada?

Seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Ambivalensi semacam itu adalah bagian dari kehidupan, konsekuensi dari kenyataan bahwa hidup manusia tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh akal seperti abang Shakuntala memerintah alat kelaminnya. Sebagai kritikus saya kecewa pada karya Ayu Utami justru karena ambivalensi yang seharusnya dipeluk dengan sadar dalam sebuah karya yang konon tanpa subjek tunggal dan utuh itu, ternyata kurang diolah.

Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu justru sangat falosentris.

***

Apakah keluhan saya seputar representasi seksualitas dalam novel Ayu Utami tidak terlalu mengada-ada? Bukankah seperti yang saya katakan di atas, gaya hidup perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelumnya belum banyak diangkat sebagai tema novel, khususnya dengan fokus terhadap kehidupan seksual? Bukankah usaha untuk menggali tema tersebut dan untuk meninggalkan tabu seputar seksualitas, pantas dihargai?

Saya rasa kritik saya tidak mengada-ada. Bukan sayalah yang menciptakan ekspektasi yang berlebihan terhadap karya Ayu Utami, yaitu bahwa karya tersebut merupakan karya feminis yang subversif dan penuh terobosan baru. Ekspektasi tersebut dengan sengaja ditimbulkan oleh novel itu sendiri dan oleh tulisan-tulisan di seputarnya, termasuk tulisan Goenawan Mohamad yang saya bahas di awal esei ini. Maka sudah sewajarnya kalau tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut saya keluhkan dan pemujaan yang berlebihan saya kritik.

Daftar Pustaka

Ayu Utami, Saman, Jakarta 1998.

—, “Membantah mantra, membantah subjek” Kalam edisi 12, 1998.

—, Larung, Jakarta 2001.

Bandel, Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, Republika 23 Maret, 30 Maret dan 6 April 2008.

Clara Ng, Tujuh Musim Setahun, Jakarta 2002

Kris Budiman, Pelacur dan Pengantin Adalah Saya, Yogyakarta 2005.

Goenawan Mohamad, “Ayu Utami – The Body Is Heard”, 2000 Prince Claus Awards, The Hague 2000, hlm. 78-81.

[1] Tentu perlu dipertimbangkan bahwa tulisan yang mengandung perlawanan terhadap rejim Orde Baru seperti yang disebut Goenawan Mohamad mungkin hanya dapat diterbitkan di bawah tanah pada masa itu. Namun Orde Baru telah lama berakhir, dan tulisan yang dulu dianggap subversif sekarang bisa diterbitkan dengan lebih bebas. Kalau Ayu Utami tidak menerbitkan tulisan lamanya seperti yang dilakukan oleh sejumlah penulis lain, bukankah itu menunjukkan bahwa tulisan tersebut memang bukan tulisan yang cukup menarik dan berbobot untuk diterbitkan ulang?

[2] Goenawan Mohamad tidak menyebut ISAI (Institut Studi Arus Informasi) secara langsung, tapi kemungkinan besar organisasi itulah yang dimaksudkannya dengan “the clandestine network of media workers that I [i.e. Goenawan Mohamad] helped to organise” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

[3] Lihat esei saya “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” untuk pembahasan yang lebih mendalam soal representasi Ayu Utami di Eropa tersebut.

[4] Esei tersebut terbit pada tahun 1975 dalam bahasa Perancis. Setahu saya baru dalam esei itulah Cixous berbicara tentang ekspresi (tulisan) perempuan yang mesti membuat „tubunya didengar“. Maka kemungkinan besar Goenawan Mohamad salah menyebut tahunnya, seharusnya 1975, bukan 1974.

[5] Saman, hlm. 31.

[6] Saman, hlm. 128.

[7] Saman, hlm. 117.

[8] Saman, hlm. 116.

[9] Saman, hlm. 128.

[10] Larung, hlm. 153.

[11] Kris Budiman 2005, hlm. 125.

[12] Larung, hlm. 141

[13] Larung, hlm. 140

[14] Larung, hlm. 139

[15] ibid.

[16] Larung, hlm. 141-42

[17] Larung, hlm. 140

[18] Tujuh Musim Setahun, hlm. 93-94.

[19] Saman, hlm. 195

[20] Larung, hlm. 82-83.

[21] Saman, hlm. 129-130; Larung, hlm. 120

[22] Saman, hlm. 196

[23] Larung, hlm. 132 dan 153

[24] Larung, hlm. 153

[25] Larung, hlm. 132

[26] Larung, hlm. 153

[27] Saman, hlm. 71

[28] Saman, hlm. 68, 71-72

[29] Saman, hlm. 71-72

[30] Saman, hlm. 76

[31] Saman, hlm. 78

Judul Asli:
Vagina Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami
http://indonesiabuku.com/?p=6263

Hatiku selembar daun...

Katrin Bandel

Dr. phil., Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

lahir 29 Desember 1972 di Wuppertal, Jerman.

Menyelesaikan doktor dalam bidang Sastra Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg, Jerman, dengan topik "Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia". Tulisannya dipublikasikan dalam berbagai media di Indonesia. Saat ini menetap di Yogyakarta dan mengajar di program magister (S2) Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Universitas Sanata Dharma
Program Magister (S2) Ilmu Religi dan Budaya
Jl. Gejayan
Mrican
Trombol Pos 29

Yogyakarta 55002
Indonesia

katrinbandel[at]yahoo[dot]de

‘An Exact Price’

‘An Exact Price’

Dari milis tetangga:



It was my lucky day that a Scotsman visited a souvenir shop where I worked, in my first working day. He was looking around paintings on the wall. I wondered when he stopped in front of a painting and watching it for more than ten minutes.

‘How much is this?’, he asked, spoke easily to understand.

‘That is Rp 200,000’ I answered.

‘It's too expensive,’ said the man, ‘I don't have much money. I have Rp 100,000 left. Can I offer?’

‘Sure. I am asking my boss.’

Then my boss came. He said to the man, ‘I'm sorry, sir. He is my new shopkeeper. He isn't known the price very well. The right price is Rp 550,000. You can offer it, anyway.’

‘Hmm. well, I offer Rp 400,000 for the painting. I don't have much money,’ the foreigner repeated his utterance before.

‘Rp 450,000. That's last price,’ my boss offered.

After several minutes the Scotsman still defended his offer. At last, my boss gave in. The man paid and held the painting. He watched it once again before covering the picture. He turned it. All at once, he saw a list price at the back of the frame. It was labeled ‘Rp 400,000’.



Hatiku selembar daun...

Rintihan Penyair Demak

Rintihan Penyair Demak





Ketika kau sedih aku kan mengeringkan air matamu

Ketika kau gentar aku akan menghapus ketakutanmu

Ketika kau cemas aku akan memberimu harapan

Ketika kau nyaris menyerah aku akan membantumu bertahan

Ketika kau tersesat dan tak bisa melihat terang, aku akan menjadi lenteramu bersinar terang

Inilah janji yang aku ikrarkan sampai akhir hayatku, karena kau adalah sahabatku sekaligus sebagai saudaraku....



Tetes air mata yg kau hapus adalah simbol kasih yang tulus

Kuingin membalasnya dengan hati yang penuh cinta dan kedamaian

Dengan segala kekurangan, kupersembahkan puisiku untukmu....



Mari sucikan hati kita yang kotor

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H

Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir Batin....

Semoga Gw Yang Salah

Semoga Gw Yang Salah


Arif Rohman


Once again, a good paper. This essay contained good evidence of thinking logically through the issues and reading appropriate texts. A good grasp of the issues. The essay has a straightforward structure, which is easy to follow, presents an argument, has a clear writing style, and shows, well-developed analytical skills. Your paper does reflect considerable thought and effort. You have provided a coherent response to the topic and your ideas and opinions were presented in a clear and logical fashion. Analytical skills are evident. You are a genious. Well done.





Baru kali ini seumur-umur gw dipuji sama dosen. Bule lagi.. Pendidikan di Barat memang benar-benar terkesan menghargai sebuah usaha dan pemikiran studentnya. Ada semacam semangat egaliter, dan kebersamaan di dalamnya.. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mengarah ke sana.. Gw jadi teringat cerita teman yang sekolah di ITB drop-out, tapi disekolahin professornya di Amerika, ehh.. Malah lulus Cum-Laude. Gw jadi bertanya-tanya apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita? Apakah memberikan penghargaan untuk student adalah sesuatu yang sangat mahal? Seumur-umur jujur gw kagak pernah nerima feed-back dari dosen atas tulisan-tulisan yang gw produce. Tahu-tahu nilai sudah keluar.. Jujur gw gembira, tapi itu tidak membuat gw bahagia. Gw sempat berpikir semoga tulisan-tulisan yang dulu gw tulis, ga dibuang ke tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Dan semoga tulisan-tulisan itu benar-benar dibaca dosen-dosen dan dikritisi secara ilmiah. Kalau tidak, pantaslah perkembangan pendidikan di Indonesia disalip oleh negara-negara tetangga sebelah. Menurut gw, sekolah yang baik adalah sekolah yang benar-benar mampu meningkatkan potensi para studentnya, mengukur tingkat pemahaman mahasiswanya, menunjukkan kesalahan studentnya dalam berpikir ilmiah dengan pendekatan yang membangun, mencetak budaya diskusi ilmiah, dan tak kalah pentingnya yaitu memberikan sentuhan personal kepada studentnya dalam situasi khusus. Ironisnya, saat ini, gw merasa 'belum' melihat itu. Tapi, semoga penilaian gw lah yang salah.. Bukankah di negeri yang 'ramah' ini ngomong jujur malah dianggap aneh dan bila perlu dihukum beramai-ramai? Bukankah ngomong jujur di negara ini sudah dianggap sebagai pendosa? Memang, dimanapun pendekatan penghukuman terasa lebih mudah daripada repot-repot mengurusi suatu perbaikan yang seringkali njlimet? Tapi bukankah itu yang harus dilakukan untuk sebuah kemajuan? Benar, gw seringkali iri melihat para journalists dan sastrawan. Bagi gw, mereka adalah pendekar-pendekar demokrasi. Walaupun kadang ada juga dari mereka yang melacurkan informasi. Tapi setidaknya, sebagian besar mereka, memperjuangkan kebebasan dengan torehan tinta dan puisi-puisi mereka. Jujur, gw sungguh kagum.. Kembali ke masalah kritik dalam pendidikan. Gw selalu ngomong dari apa yang gw lihat dan apa yang gw rasakan. Dan bisa jadi penilaian gw salah. Dan gw sudah menjelaskan berkali-kali sampai mulut gw berbusa-busa (bc. sampai mau muntah) bahwa pendapat gw, tidak lebih hanyalah sebuah penilaian subyektif. Jika ada yang merasa berseberangan dan tidak senang, itu hak mereka, dan bukankah itu hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi? Jika gw memang salah, apakah kemudian gw harus menjadi 'sais kereta kuda untuk membuat semua orang yang berseberangan dengan gw menjadi senang dan berbahagia?'. Bukankah manusia diciptakan tuhan dengan segala kesempurnaan dan keunikannya? Bukankah kita bisa mengendarai seekor kuda dari puncak gunung menuju ke sungai, tapi kita tidak bisa memaksa kuda tersebut untuk minum air sungai itu? Bukankah perbedaan justru melambangkan kebhinnekaan yang oleh para founding father kita selalu digadang-gadangkan? Sejarah membuktikan bahwa si penentang norma yang conservative dan orthodox harus lari semisal dari Perancis ke Inggris dan terbang ke Australia ataupun ke Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikirnya? Dan sejarah juga mencatat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah 'syarat perlu' untuk sebuah kehidupan yang progressive dan humanis? Well, gw sudah kehabisan kata.. Condemnation is easier than introspection.. Tapi sekali lagi, semoga penilaian gw yang salah. Dan sekarang ini, jika ada anggur atau air sumur yang bisa membuat gw 'sama dengan orang lain', gw akan dengan senang hati meminumnya. Tapi bukankah itu mengkhianati kodrat penciptaan Tuhan yang maha misterius?? Sigh..!! Dunia memang benar-benar panggung sandiwara, dan gw adalah salah satu korbannya..




Armidale, 30 June 2009.Menanti-nanti turunnya salju sambil berucap, 'Tulisan untuk seni dan kebebasan memang harus dibayar mahal..'




Hatiku selembar daun...
Pesan Mbah Demak Di Hari Lebaran


Arif Rohman





Orang-orang sukses adalah mereka yang memiliki pemikiran positif. Tipe berpikir orang-orang sukses ini adalah:



1. Big picture thinking bukan small thinking

Ojo mikir sing cilik-cilik, kudu sinau terus-terusan, rungokake omongane liyan, dadi utekmu kuwi wawasane dadi luas. Ndonya kuwi ora

mung demak.



2. Focused thinking bukan scattered thinking

Nek mikir kuwi sing tenanan, ojo angger ngawur lumpat-lumpat ora jelas. Nek mikirake belimbing demak yo belimbing demak, ojo nganti

mikir belimbing depok, citayam opo maneh, belimbing wuluh.



3. Creative thinking bukan restrictive thinking

Mikir ojo nggur mikir, tapi sing kreatip sitik. Misale ketinggalan kreta depok, ojo njur mutung lan mlaku depok jakarta, nek kuwi jenengane

edan.



4. Realistic thinking bukan fantasy thinking

Yen mikir ojo sing ora-ora, opo maneh mikir sing jorok-jorok, kayal, lan nglantur, mbok yo sing opo anane ae. Misale rupane elek, akeh kukule, tapi ngarep-arep dipacari luna maya. nek kuwi jenenge ora nggrayangi getokke. ngoco lo ngoco.



5. Strategic thinking bukan random thinking

Mikir kuwi koyok dolanan sekak, kudu kuat lan pinter itung-itungane, ojo asal-asalan, nek mung ngono bocah cilik yo iso. Misale kowe

kerjo nang Kalimantan terus adikmu arep kawinan sesok. Kowe yo kudu korban duwit sitik numpak pesawat, ojo malah pingin ngirit

numpak kapal, pas kowe nyampe panganane yo wis entek, eneke yo piring rusoh karo utang sing kudu dibayar.



6. Possibility thinking bukan limited thinking

Nek mikir kuwi sing bebas, ora ono beban, ojo kepikiran sing ora-ora, opo maneh sing ora penting. Misale pingin halal bi halal karo pak

sby, kudu mikirake ramene wong sing podo mrono, ojo nganti awake dhewe desek-desekan, kepidak, terus mati.



7. Reflective thinking bukan impulsive thinking

Mikir kuwi yo dirasak-rasake apik orane, ojo pas lagi nesu, kuwi lo contone Arya Panangsang mati sak durunge dadi rojo, amargo emosi

nglawan musuhe dhewekan, padalen dheweke nduwe prajurit akeh. Kuwi jenenge kuthuk marani sunduk, alias ora nggowo sim, stnk,

helm, spion, wani-wanine lewat nang ngarepe pulisi. Ojo ngono, nek kuwi jenenge prustasi..



8. Innovative thinking bukan popular thinking

Mikir sing apik kuwi sing ngasilake pemikiran sing anyar sing iso nyelesekke masalah, ojo mung mikir tapi hasile biasa-biasa ae. Misale nek

numpak kreta ora kebagian kursi kanggo lungguh, yo kudune mikir tuku kursi cilik sing didol nang stasiun opo tuku koran kanggo

nglesot. Ojo malah nesu-nesu mbalangi koco, terus mecotot nang dhuwure kreta. Nek kuwi jenenge ngedan.



9. Shared thinking bukan solo thinking

Mikir bareng-bareng kuwi luwih apik tinimbang kowe mikir dhewekan. Contone tukar kawruh nyambi ngopi, mangan telo godhok, gedang

goreng, opo buah belimbing. Ojo malah mikir nglangut karokan ngelamun, nglamune nang kuburan akeh lamuk sisan. Nek kuwi horror

banget.



10. Unselfish thinking bukan selfish thinking

Mikir kuwi ojo kanggo awake dhewe thok, tapi kudu kanggo keapikane wong akeh. Misale mikir mbangun dalan kampung ojo sing dipikir

dalan neng ngarep omahe thok. Wong kampung bakalan ngamuk kabeh. Iso-iso sirahmu benjut kabeh.



11. Bottom line thinking bukan wishful thinking

Ojo mikir sing sifate ngarep-arep ora jelas, mikir sing tenanan koyok dhene wong baris yoiku urut lan iso dimangerteni. Ojo mikir terus

piye corone macari cut tari, tapi mikiro piye corone entuk dhuwit kanggo operasi plastik lan tuku kebun belimbing sewu hektar ben

dheweke kesengsem.








Demak, 16 September 2010

Mbah Demak 'Mario Cleguk'





Hatiku selembar daun...

ANAK YANG CACAT TELINGANYA

ANAK YANG CACAT TELINGANYA


“Bolehkah saya melihat bayi saya?” ibu muda yang baru bersalin itu bersuara lirih kepada seorang perawat. Sambil tersenyum perawat itu membawakan bayi yang masih merah. Si ibu menyambut dengan senyum bahagia. Dibuka selimut yang menutup wajah lucu itu, diciumnya berkali-kali bayi itu selama dipangkuannya. Perawat kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tidak sanggup dia menatap mata si ibu yang terperanjat melihat bayinya dilahirkan tanpa kedua cuping telinga. Namun kekagetan ibu itu cuma seketika. Dekapan dan ciuman silih berganti dilakukan si ibu sehingga bayi yang sedang tidur itu merengek. Setelah diperiksa dokter, diketahui bahwa pendengaran bayi itu normal! Ini merupakan sesuatu yang mengembirakan ibu itu. Waktu terus berlalu… Pada suatu hari ketika pulang dari sekolah, anak yang tidak punya cuping telinga itu menangis karena di sekolahnya dia selalu diejek teman-temannya. “Mereka bilang saya cacat,” katanya kepada si ibu. Mata si ibu seketika merah menahan tangis. Dibujuknya si anak dengan berbagai kata semangat. Si anak menerimanya dan dia akhirnya menjadi murid yang pandai di sekolahnya dengan menyandang berbagai prestasi. Namun bagaimanapun juga tanpa cuping telinga, si anak tetap merasa rendah diri walaupun si ibu terus membujuk dan membujuk. Ayah anak itu kemudian bertemu dokter. “Saya yakin dapat melakukannya jika ada seseorang yang mendonorkan telinganya ,” kata pakar bedah. Kemudian dicarilah orang yang mau mendonorkan telinganya. Setahun berlalu… “Anakku, kita akan menemui dokter akhir minggu ini. Ibu dan ayah telah mendapatkan seorang pendonor, tapi dia mau jati dirinya dirahasiakan, ” kata si ayah. Pembedahan berjalan lancar dan akhirnya si anak muncul sebagai manusia baru, tampan serta bijak. Studynya semakin cemerlang dan rasa rendah diri yang sering dialaminya sudah hilang. Teman-temannya banyak yang memuji kecantikan parasnya. Si anak cukup bijak, bagaimanapun dia tidak mengabaikan pelajaran sekolahnya. Pada usianya yang menginjak 20 tahun, si anak menjabat posisi yang cukup tinggi di bidang diplomatik. “Sebelum saya berangkat keluar negeri, saya ingin tahu siapakah pendonor telinga ini, saya ingin membalas jasanya,” kata si anak berkali-kali. “Tak mungkin,” balas si ayah. “Perjanjian antara ayah dengan pendonor itu masih berlaku. Tunggulah, masanya akan tiba.” “Kapan?” tanya si anak. “Akan tiba masanya anakku,” balas si ayah dengan diikuti anggukan ibunya. Rahasia itu sudah bertahan bertahun-tahun lamanya. Hari yang ditunggu tiba. Ketika si anak berdiri di sisi keranda ibunya yang telah meninggal, perlahan-lahan si ayah menyibak rambut ibunya yang telah kaku. Gelap seketika pandangan si anak ketika melihat kedua cuping telinga ibunya yang tidak ada. “Ibumu tidak pernah memotong pendek rambutnya,” si ayah berbisik ke telinga anaknya. “Tetapi tidak ada yang mengatakan ibumu cacat, termasuk ayahmu. Bagi ayah dia tetap cantik. Dia satu-satunya wanita paling cantik yang pernah ayah temui….”





Hatiku selembar daun...

Pergi Dengan Kereta

Pergi Dengan Kereta


Aku sudah mengepak semua barang dan siap pergi. Sekarang aku berdiri di depan pintumu. Aku benci membangunkanmu untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi sayangnya fajar telah merekah dan pagipun tiba. Taksi sudah menunggu dan mengklakson. Aku telah kesepian dan sebentar lagi mati.. Sekarang cium dan tersenyumlah padaku. Katakan padaku kalau engkau mau menungguku. Peganglah aku seperti engkau takkan melepaskanku.. Karena aku akan pergi dengan kereta. Dan aku tak tahu kapan aku kan kembali. Oh sayang, aku harus pergi…





Hatiku selembar daun...

Terjemahan Lirik Lagu Kungfu Master

Terjemahan Lirik Lagu Kungfu Master


NAN’ER DANG ZI QIANG
A Man Should Strengthen Himself

(LAKI-LAKI DENGAN KEBULATAN TEKAD)





Aoqi miandui wan chong lang
Vigorous when facing the beatings of ten thousands heavy waves
(Dengan tegak kuhadapi ribuan badai)




Rexue xiang na hong ri guang
Ardent just like the rays of the red sun
(Darah saya panas seperti merahnya matahari)



Dan si tie da
Having courage like forge iron
(Keberanian saya kuat seperti besi)



Gu ru jing gang
Bones as hard as refined steel
(Tulang-tulang saya lembut seperti baja)



Xiong jin bai qian zhang
Having lofty aspirations and excellent foresight
(Hati saya luas dan murah hati)



Yanguang wan li chang

(Visi saya keluar menembus batas)



Wo fafen tu qiang zuo hao han
I worked extremely hard, aspiring to be a strong and courageous man
(Saya berusaha keras untuk menempa diri saya menjadi seorang pahlawan)



Zuo ge hao han zi meitian yao ziqiang
In order to become a hero, One should strive to become stronger everyday
(Untuk menjadi seorang pahlawan saya harus berlatih tekun setiap hari)



Rexue nan’er han bi taiyang geng guang
An ardent man shines brighter than the sun
(Menjadi seorang pahlawan yang berdarah panas yang panasnya melebihi matahari)



Rang hai tian wei wo ju nengliang qu kai tian pi di
Allowing the sky and sea to amass energy for me, to split heaven and part the earth
(Ijinkan saya menyerap energy dari samudera, langit, surga dan bumi)



Wei wo lixiang qu chuang
To fight for my aspirations
(Untuk menjaga idealisme, saya berpetualang menempuh bahaya)



Kan bi bo gao zhuang you kan bi kong guang kuo haoqi yang
Watching the stature and grandure of jade coloured waves, at the same time watching the vastness  jade coloured sky,  let our noble spirit soar
(Saya melihat munculnya gelombang melesat yang memutih, melihat awan di langit berwarna biru yang meluas)



Wo shi nan'er dang ziqiang
I am a man and I must strive to strengthen myself
(Saya seorang laki-laki, saya harus menempa diri)



Ang bu ting xiong dajia zuo dongliang zuo hao han
Walking in firm steps and standing upright let us all aspire to be a pillar of the society, and to be a hero
(Berjalan di depan dengan tegak untuk menjadi seorang pahlawan)



Yong wo bai dian re yao chu qian fen guang
Using our hundredfold warmth, to bring forth a thousandfold of brilliance
(Mentransformasikan semangat cinta tanah air saya melalui pancaran sinar)



Zuo ge hao han zi re xue re chang re bi taiyang geng guang
Be a hero, being ardent and with strong courage, shine brighter than the sun
(Menjadi seorang pahlawan, darah saya mendidih, mengalahkan panasnya matahari)







*Lagu ini kalau tidak salah dinyanyikan oleh Jacky Chan



Hatiku selembar daun...
CERITA SEDIH DARI KAMPUNGKU

Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa d! an salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku.. Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.



22 tahun yang lalu,

Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak ! sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.



19 tahun yang lalu,

Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi la! lu dari kursi ke lantai kemudian berteriak 'Horeee, Iya bisa terbang'. Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, 'Iya sayaaang,' jika sudah terdengar suara 'Prang'. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca.. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang 'Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?'



18 tahun yang lalu,

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya. 'Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!' tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. 'Horee, Iya jadi pemain bola.'



17 Tahun yang lalu,

Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan 'Iyaaaa'. Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata 'Coba kalau kamu tak belikan ia bola!'



15 tahun yang lalu,

Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibe! ntak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia .



13 tahun yang lalu,

Setahun sejak keper! gian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.



10 tahun yang lalu,

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. 'Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.' Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga. 'Sabar ya, Nak!' hiburku. 'Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!' pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.!



7 tahun yang lalu,

Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.



4 tahun lalu,

Kamila tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.



3 tahun 6 bulan yang lalu,

Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.



2 tahun 6 bulan yang lalu,

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia . Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku. 'Bapak, Iya Takut!' aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. 'Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?' 'Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan , Pak!' Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.



2 tahun yang lalu,

Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass' Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin suda! h mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal. 'Kania?' 'Mas Har, kau ... !' 'Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!' 'Iya? Dia..dia . Iya?' serunya getir menunjuk jenazah anakku. 'Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar.' 'Tidak ... tidaaak ... ' Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya 'Terima kasih Mama.' Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.



Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak, 'Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.' Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku...



Sumber : TRUE STORY













Hatiku selembar daun....

Cerita Sang Ayah Untuk Isteri dan Anaknya

Cerita Sang Ayah Untuk Isteri dan Anaknya



Suatu hari di sebuah apartemen berlantai 100 mengalami gangguan lift, lantaran listrik mati. Sebuah keluarga penghuni apartemen lantai 100 yang baru pulang belanja ingin segera masuk ke rumah. Mereka bertiga terdiri dari Ayah, ibu dan anak.

Karena habis belanja di mall, mereka sepakat harus sampai ke lantai 100 secepatnya, karena mendekati waktu makan siang. Mereka pun sepakat naik melalui tangga ke lantai 100. Karena menurut petugas apartemen, mati lampu karena ada travo yang meledak di Jakarta dan menunggu travo pengganti yang masih diambil dari Surabaya.

Agar tidak bosan selama menaiki tangga mereka punya tiga kesepakatan, pertama, lantai 1 sampai 30 si anak harus menyanyi untuk menghibur, kedua, lantai 31 sampai 60 si ibu bercerita tentang hal yang lucu-lucu, dan ketiga dari lantai 61 sampai 100 si ayah bercerita tentang hal yang sedih.

Memasuki lantai ke-61, Si Ayah giliran bercerita tentang hal-hal yang sedih. Entah karena kelelahan, Si Ayah saat itu selalu menunda-nunda gilirannya bercerita, kemungkinan takut lemes, tidak sampai di lantai 100. Nah sampai akhirnya di lantai 99, Si Ayah mulai bercerita.

"Duhai Bunda tercinta, anakku yang aku kasihi, ini cerita sedih sekali. Jangan menangis ya, janji!," mulai sang ayah disambut kompak Si Anak dan Sang Ibu, yang berjanji tidak akan sedih dan nangis.

"Begini, hati Ayah sedih banget, ternyata kunci rumah kita ketinggalan di mobil, di parkiran bawah sana, hiks, hiks," sang Ayah mulai meneteskan air mata.

"Ayah, ini beneran apa cerita ngarang sih? Jangan bikin bunda nangis, hua... Ayah beneran kunci rumah ketinggalan di mobil," tanya sang ibu dan Anak yang tak bisa menahan tetesan air mata.





*maaf kuncinya bener-bener ketinggalan atau cuman cerita, gw juga ga tahu. Pukulin aja tuh orang yang pertama bikin cerita. Hehehe...







Hatiku selembar daun...



.

Menelusuri Perubahan Identitas Kota

Menelusuri Perubahan Identitas Kota*

Judul Buku : Kota-Kota Di Jawa;
Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial
Penulis : Prima Nurrahmi Mulyasari dkk
Editor : Sri Margana & M. Nursam
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : x + 541 halaman

Waktu demi waktu terus bergulir. Dengan bergulirnya waktu, perubahan demi perubahan pun terus terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Adakalanya perubahan itu menuju kepada hal yang lebih baik sehingga menjadikan kemajuan. Namun adakalanya juga perubahan itu membawa kepada kemuduran. Begitu juga dengan kota-kota di Jawa yang dalam perkembangannya telah membawa perubahan. Perubahan tersebut telah membuat pergeseran pada identitasnya.

Buku yang berjudul “Kota-Kota Di Jawa; Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial” merupakan kumpulan artikel-artikel yang dalam pembahasannya memaparkan kota-kota di pulau Jawa berikut identitas, gaya hidup, hingga permasalahan sosial perkotaan. Secara keseluruhan, perubahan demi perubahan telah banyak membuat kota-kota di Jawa tersebut menampakkan wajah yang berbeda dari zaman dahulu hingga sekarang.

Kota-kota di Jawa, pada perkembangan sejarahnya memiliki berbagai karakter dan sifatnya yang khas. Solo dan Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaaan besar (Kerajaan Mataram Islam), Banyumas yang pernah menjadi kota terbelakang, Surabaya sebagai kota obyek urbanisasi suku Madura, dan lain sebagainya memiliki perkembangan sejarah yang beragam karena pelaku budaya yang membentuk sejarah pun beragam pula.

Tradisionalitas klasik yang menjadi identitas kota pada masa lampau, kini mengalami pergeseran yang mana hal itu menuju ke arah modernitas. Gaya hidup orang-orang kota pun telah terkontaminasi dengan gaya hidup para pendatang sehingga membawa permasalahan sosial yang baru pula. Ihwal dari penjajahan oleh Belanda dan Jepang yang kemudian merdeka hingga sekarang, kota-kota di Jawa telah menuju ke arah modernitas. Barangkali hal itu dipengaruhi faktor dari luar seperti pendatang baik dari luar negeri ataupun dalam negeri (migrasi). Urbanisasi dan perilaku migrasi lainya juga setidaknya membawa pengaruh yang besar selain dinamika politik dan ekonomi daerah perkotaan.

Identitas Kota

Setiap kota pasti memiliki identitas yang mana hal itu menjadi ciri khasnya. Begitu pula dengan kota-kota di Jawa yang lekat dengan identitasnya yang menyimbolkan bahwa identitas tersebut adalah kepribadian kota tersebut. Bukan hanya sekadar identitas, akan tetapi lebih pada nilai-nilai luhur dan arif yang terkandung dalam identitas kota tersebut.

Karakter dan ciri khas kota-kota di Jawa sebagian telah hilang atau luntur. Tidak hanya itu saja, bahkan identitas kota-kota di Jawa telah lenyap pada memori penduduknya sendiri. Kota Solo dan Banyumas (misalnya), menjadi potret hilang dan lunturnya identitas kota yang mana pada tempo dulu sangat lekat dengan identitasnya.

Lunturnya identitas kota Solo lebih disebabkan oleh sikap dan cara pandang penduduknya yang terlalu longgar terhadap modernitas dan pengembangan fisik kota. Sementara di Banyumas, kemunduran disebabkan karena letak geografis yang tidak menguntungkan sehingga sulit terjangkau transportasi. Pada awal abad ke-20, Banyumas tidak seperti kota-kota di Jawa lainnya yang mengalami kemajuan. Kota ini justru mengalami suatu periode kemunduran karena tidak mampu mempertahankan posisinya.

Sungguh kedua kota tersebut sangat berbeda dengan kota Yogyakarta. Jika di berbagai kota di Jawa, arus modernitas menjadi penyebab utama lunturnya identitas kota, Yogyakarta justru sebaliknya. Kota Yogyakarta justru sedang mengalami pengayaan identitas. Hal ini karena akulturasi dan assimilasi dari kebudayaan yang dibawa oleh komunitas Tionghoa yang menetap di kota Yogyakarta. Salah satu akulturasi dan assimilasi tersebut tercermin pada perayaan Imlek dari masyarakat Tionghoa-Muslim di Yogyakarta. Hal yang unik dari masyaratakat Tionghoa-Muslim tersebut, adalah perayaan Imlek yang tidak dirayakan di klenteng, akan tetapi justu di masjid. Nasi tumpeng yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa (khususnya Yogyakarta), berdampingan dengan kue keranjang yang menjadi simbol masyarakat Tionghoa.

Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial

Lagi-lagi modernitas telah mengubah semuanya. Masyarakat kota yang dulunya memegang tradisi klasik yang dimiliki, pada era kini berubah karena arus modernisasi yang sangat kuat. Akhirnya, gaya hidup pun menjadi berubah. Berbagai produk dan barang yang menjadi konsumen masyarakat kota telah menjadi simbol modernitas. Hal itu berakibat pada gaya hidup masyarakat kota yang mana mengkonsumsi berbagai produk dan benda atau barang yang memiliki simbol modern. Arus modernisasi yang kuat telah melanda kota-kota di Jawa sehingga mau tidak mau, masyarakat tersebut bergaya hidup ala modern.

Salah satu barometer gaya hidup yang modernis di tandai dengan pakaian. Gaya berpakaian menjadi ukuran untuk melihat karakteristik kehidupan di perkotaan. Berpakaian bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk melindungi tubuh dari panas, dingin, dan gigitan serangga, akan tetapi juga terkait dengan adat-istiadat, pandangan hidup, peristiwa, kedudukan atau status, dan juga identitas (hlm. 8).

Meski demikian, modernisasi tidak selamanya membawa keburukan meskipun telah menghilangkan sebagian identitas perkotaan dan merubah gaya hidup masyarakat kota. Adakalanya modernitas itu membawa nilai positif yang bisa dimanfaatkan dengan baik.

Sementara itu, kehidupan perkoataan yang individual, mengedepankan kompetisi sering kali melahirkan permasalahan sosial seperti kriminalitas, prostitusi, aborsi, kemiskinan, urbanisasi, pengangguran, dan permasalahan sosial lain. Masalah-masalah sosial yang muncul di perkotaan ini menuntut pemerintah kota untuk berbuat sesuatu agar kehidupan perkotaan menjadi lebih aman dan nyaman (hlm. 9).

Dari berbagai kota di Jawa tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejarah kota telah berjalan dari tradisionalitas yang menjadi identitasnya menuju modernitas yang menjadi identitas barunya. Sering kali, budaya Barat lah yang menjadi kiblat dari perilaku yang dianggap modern karena budaya Barat kini telah menghegemoni dunia, termasuk pula budaya tersebut menyelinap pada kota-kota di Jawa.
Dengan membaca buku yang berjudul “Kota-Kota Di Jawa; Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial”, para pembaca di ajak untuk menelusuri sejarah kota-kota di Jawa pada masa dahulu ketika tradisionalitas masih menjadi corak perkotaan sehingga dapat dibandingkan dengan masa sekarang. Perkotaan hingga masa sekarang telah mengalami perkembangan dalam sejarahnya, yang mana itu merupakan suatu keniscayaan. Namun demikian, tradisionalitas yang mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi, seharusnya dilindungi dan dilestarikan sebagai kekayaan masa lalu yang bersejarah untuk masa kini meskipun modernisasi begitu marak.

*) Peresensi adalah Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
sumber:http://oase.kompas.com/read/2010/07/15/01401318/Menelusuri.Perubahan.Identitas.Kota

Kisah Sang Bumiputra di Belanda

Kisah Sang Bumiputra di Belanda*

Judul Buku : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : xl + 194

Abad 19 merupakan gerbang terbukanya jalur pendidikan penduduk pribumi, untuk belajar di Eropa. Dengan segenap intelektualitas dan bakat seninya, Raden Saleh memperoleh beasiswa menghirup nafas pendidikan di Eropa. Awal mula tersebarnya gagasan kemerdekaan dan usaha menentang kolonialisme dengan cerdik.

Raden Saleh, sebagai salah satu pelukis besar yang dimiliki bangsa ini, lahir untuk mencetak sejarah. Sebagai putra dari salah seorang pegawai dan penerjemah untuk Belanda, Raden Saleh memulai liku-liku pengembaraanya sebagai pelukis dengan nuansa tragedi dan ironi.

Buku “Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme” yang ditulis bersama oleh Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham berusaha menjelaskan posisi Raden Saleh dalam ruang intelektualitas dan kesenian secara jernih. Buku ini mengupayakan telaah atas kerja keras, ironi, tragedi dan espektasi yang melingkupi kehidupan pelukis besar negeri ini. Raden Saleh tak hanya menacapkan tonggak pelukis masyhur, namun mengupayakan sebaran ide, kampanye kemerdekaan dan pemihakan kepada kaumnya dengan alur strategi kesenian yang cantik.

Ruang gerak kehidupan Raden Saleh memang penuh dengan politik etis kolonialisme. Harus diakui, Raden Saleh merupakan salah satu putra pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern di Eropa. Raden Saleh menginjakkan kakinya untuk menghirup udara pendidikan eropa pada 1829, sebelum Sosrokartono (1896) dan Abdul Rivai (1899) melakukan lawatan yang sama.

Bakat besar yang dimiliki Raden Saleh mengundang simpati dari berbagai pembesar dan bangsawan masa itu. Politik diplomasi dan strategi kesenian yang dilakukan Raden Saleh berhasil menghantarkan dirinya untuk berselancar menikmati dan mempelajari perkembangan seni lukis di daratan Eropa.

Alur Sejarah

Raden Saleh hidup dengan bentang benang sejarang yang kusut. Harsja W. Bachtiar menuliskan dengan jernih, sejarah kehidupan dan perkembangan mental Raden Saleh. Sejarah kelahiran Raden Saleh, masih membuka perdebatan sengit. Pasalnya, tahun 1814, sebagai titi mangsa kelahirannya, diperdebatkan banyak sejarawan. Raden saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, pada 1814, tanggal ini milik Raden Saleh sendiri. Ayahnya bernama Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang asisten residen Terboyo.

Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.

Bakat alam Raden Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.

Selepas Paijen kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan oleh Komisaris Jendral du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting seninya di Eropa.

Di Eropa, Raden Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan eropa. Raden Saleh juga menjalin hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan Paris.

Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden pulang ke tanah air, setelah melakukan lawatan panjang ke eropa. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.

Jejak Nasionalisme

Kisah kehidupan Raden Saleh dibingkai dengan pikiran orientalisme, ketegangan kolonialisme, dan beban mental inlander yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah. Namun, Raden Saleh dapat melampui penjara mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan eropa dengan lukisan artistik dan menyentuh. Sikap kosmopolitan yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa.

Nilai artistik, pola kebangsawanan dan agenda diplomasi kesenian yang dilakukan Raden Saleh tak lantas menjadikannya melupakan teriakan warga pribumi pada zamannya. Raden Saleh berjasa besar dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis.

Keprihatinan pada nasib pribumi, menemukan puncak ketika merasakan kegetiran perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa. Selepas melakukan perlawanan pada 1925-1930, Pangeran diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Pada 8 Februari 1885,Pangeran Dipanegara wafat pada masa pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan. Raden Saleh memanfaatkan momentum ini sebagai inspirasi lahirnya karya, yang disebutnya “a historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”. Karya ini merupakan hasil kerja dan komitmen kebangsaan yang menyatu dengan nafas kehidupan Raden Saleh.

Di lukisan itu, Raden Saleh menggambarkan ketegangan proses penangkapan Pangeran Dipanegara, yang berawal dari akal bulus Jendral De Kock. Pangeran Dipanegara ditangkap di Magelang, usai menyelesaikan ritual puasa, pada tahun 1930. Impresi dan ketajaman emosional yang tergambar pada lukisan ini, menyatakan simpati Raden Saleh pada perjuangan Dipanegara. Jiwa nasionalisme Raden Saleh tak meletup dengan gerakan angkat senjata, perlawanan radikal, maupun strategi perang. Raden Saleh bergulat dengan kanon lukisan “mooi indie” yang menjadi tren seni lukis masa kolonial. Nuansa romantis, fragmen keindahan alam, dan eksotisme negara jajahan, menjadi bagian lukisan bergenre moii indie, sebagai apresiasi rindu pejabat hindia belanda, ketika pulang ke negeri Holland. Namun, Raden Saleh tak sekedar menggurat romantisme, pemihakan pada kisah perjuangan kaum pribumi menempatkan sikap beliau pada ruang terhormat. Walaupun telah meninggal pada Jum’at, 23 April 1980, jam 13.oo WIB, di kota Bogor (Buitenzorg), namun nama Raden Saleh mengabadi sampai masa kini. Nama pelukis besar ini, diabadikan di sebuah oase kebudayaan di Semarang; Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).

Nasionalisme versi Raden Saleh bukanlah menyiapkan energi peperangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Justru, pilihan untuk mengabadikan momen perjuangan kaum pribumi dalam sebuah lukisan eksotik. Buku ini, merekam sosok dan perjuangan Raden Saleh dengan ironi, tragedi dan espektasi.

*Munawir Aziz, peneliti dan penikmat buku
Sumber:http://oase.kompas.com/read/2010/05/11/0256110/Kisah.Sang.Bumiputra.di.Belanda..

Apakah Marhaenisme itu?

Apakah Marhaenisme itu?

Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.

Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.

Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.

Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.

Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.

Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.

Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!

Lain kali kita kupas lebih jauh faham Marhaenisme ini; dan kita akan bandingkan juga Marhaenisme dengan Radikalisme.

Oleh: Ir. Soekarno
Sumber: Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 2—3.