Saturday 4 December 2010

Politik komunikasi Bibit vs ordo Sedulur Sikep

Politik komunikasi Bibit vs ordo Sedulur Sikep





ORDO kepercayaan Sedulur Sikep minta Gubernur Bibit Waluyo mencabut statemen terkait kontroversi pendirian pabrik PT Semen Gresik di Sukolilo Pati. "Pernyataan gubernur seratus persen salah, beliau harus mencabutnya," kata anggota Sedulur Sikep, Gunretno, Rabu (22/10). (Tempo Interaktif, 22/10).

Figur yang pernah disomasi PT Semen Gresik ini merespon pernyataan gubernur, Selasa (21/10), ketika Bibit mengklaim semua warga Sedulur Sikep menerima kehadiran pabrik. Pernyataan itu dianggap ndisiki kersa karena hingga kini warga Samin - sebutan bagi kelompok Sedulur Sikep - bersikukuh menolak pembangunan pabrik. Gunretno meminta para pejabat datang sendiri ke Sukolilo.

Polemik itu mencerminkan, kepentingan masyarakat sipil ( civil society ) di salah satu titik geografis di jalur Pegunungan Kendeng sedang beradu kening dengan supremasi pemerintah.

Pegunungan Kendeng membujur dari wilayah Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Pucakwangi (Kabupaten Pati), terus ke wilayah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora, hingga sejumlah titik di Provinsi Jawa Timur. Ia tidak saja memiliki ratusan "puting" sumber air tempat berhektar-hektar sawah penduduk "menyusu". Dan, warga Sukolilo dan Pucakwangi mendapat topangan 45 persen kebutuhan air minum. Karena jika sekadar itu, dalih Pak Gub bisa tampak "rasional": keberadaan pabrik semen di sana tidak menyerobot sedikit pun sumber daya air yang selama ini menghidupi penduduk. Pabrik bisa mencari air sendiri. Tapi pegunungan Kendeng juga merupakan benteng penangkis laju angin puting beliung bagi rumahrumah warga di sepanjang jalur Kendeng.

Maka hari-hari ini politik komunikasi pemerintah tampak gerowong. Mungkin itu sekadar cermin bahwa di level operatif, elit telah mendistorsi peran birokrasi sebagai alat kekuasaan. Elit hendak kembali menggelandang birokrasi ke dalam kondisi yang tidak independen.

Kasus Sukolilo mengabarkan, reformasi birokrasi sedang tergenjet lagi. Birokrasi bisa sedang terseret pada day to day politics dan kapitalisasi. Sebagai alat melayani masyarakat, ia dilematis saat berada dalam struktur kekuasaan. Ia akhirnya ironis sekadar menjadi alat kekuatan politik yang bisa diajak berkencan ke sebuah kantin untuk bernegosiasi.

Kasus itu juga menunjukkan para elit politik begitu sudah meraup dukungan suara rakyat dalam ritualritual politik semacam pilkada, bisa seketika mungkur: memilih berseberangan dengan konstituennya. Mereka memperlakukan tidak bedanya dengan buah tebu yang manakala sudah habis manisnya segera mereka buang sepahnya.

Dari konteks ini permintaan Gunretno agar Bibit kembali datang ke rumah Mbah Tarno, salah satu sesepuh warga Samin di Sukolilo, beralasan. Sebab saat akan mencalonkan diri sebagai gubernur, konon, Bibit datang ke rumah Mbah Tarno untuk mencari dukungan. Mbah Tarno mendukung tapi bukannya sonder syarat: Bibit jangan menuruti maunya kepentingan sepihak pendiri pabrik semen.

Walau demikian, pada akhirnya, bagi si "sepah", terdapat kemusykilan untuk keperluan mengidentifikasi pemimpinnya sebagai telah melakukan "malapraktik" pengelolaan pemerintahan. Ada kompleksitas yuridis untuk menunjuk hidung siapa-siapa yang sepatutnya bertanggung jawab, dan untuk mendeskripsi apa-apa yang sepatutnya dipertanggungjawabkan dan bagaimana mempertanggungjawabkan. Bahkan jika pun ada tekstur perlakuan politik yang lebih ekstrem (kriminal) berupa "kejahatan negara" sekalipun. Seperti dibenarkan kriminolog Adrianus Meliala.

Dengan memahami kungkungan problematika strukturalnya, ikhtiar konsolidasi sipil merupakan bentuk "syariat" penyeimbangan yang niscaya. Kita turut antusias dengan pembentukan wahana-wahana konsolidasi sipil guna mengoreksi konsep industrialisasi di jalur Kendeng. Masyarakat di jalur itu amat memerlulan people empowermen agar terkembali supremasi dan kapasitas sipil mereka, dan pada akhirnya hakhak dasar dan politiknya.

Dengan konsolidasi sipil diharapkan tersusun solidaritas dan sinergisme perjuangan yang pascareformasi masih dan makin tercabik-cabik, akibat seretan atmosfer kepentingan politik yang eksesif. Dengan konsolidasi, civil society bisa secara kronis melalukan desiminasi agenda-agenda debirokratisasi. Demi ide mengembalikan profesionalisme birokrasi sebagai alat melayani masyarakat. Dan mematahkan power struggle yang memobilisasi birokrasi ke dalam peran distorsif. Konsolidasi adalah agenda yang tak urung untuk menciptakan kondisi balance of power yang sehat.

Orasi-orasi lingkungan saya kira menarik. Demikian pula kampanyekampanye lingkungan. Semua itu bagian dari pengembalian hak pendidikan publik. Juga -sesungguhnya - hak pendidikan politik dalam cakupan makna yang lebih luas.

Jika hak-hak informatif tidak dikembalikan, civil society tak akan melek perihal apa-apa yang harus mereka ketahui. Kalau mereka tidak melek bagaimana bisa mengontrol maunya elit. Kampanye-kampanye perlu ditaburkan ke dalam ladang ingatan kolektif di semua strata tentang segala hal ihwal politik lingkungan. Kampanye bisa dilakukan dalam format dialog interaktif.

Dari perpektif demokrasi kekuatan civil society di sana sah merakit kemungkinan dipakainya "resolusi lingkungan" sebagai alat untuk meluruskan setiap produk kebijakan pemerintah yang distorsif hasil rekayasa "junta" birokrasi.

Tapi untuk ini sepertinya warga di jalur Kendeng tidak patut bergerak sendiri seperti sebutir atom penyusun unsur kimiawi. Sebab, dalam kasus industrialisasi Kendeng, pemprov pun bisa sedang sekadar merepresentasikan kebijakan negara. Konsep industrialisasi tidak semata-mata tertetas dari mesin birokrasi lokal tetapi mesin "kapitalisasi " berskala nasional yang "main kayu".

Derap politik dari kekuatan civil society patut pula segara keluar dari kurungan dan kungkungan parokialisme yang bisa menjadikan semaian perjuangan sebagai alat dari kepentingan kelompok. Kekuatan civil society patut menyeruak ke dalam lingkup kancah perjuanan yang bersifat nasional. Bahkan regional dan internasional.

Tapi jangan kemudian terpeleset kaki mereka ke dalam "universalisme " agar tidak dikooptasi kekuatan hegemonik yang melirik-lirik: bisa seperti sosialisme. Atau bisa juga kapitalisme itu sendiri yang notabene hari ini sedang menggerayangi mesin birokrasi.




http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27235&Itemid=62

Warna-warni Para "Sedulur Sikep"

Warna-warni Para "Sedulur Sikep"


Prakarsa Rakyat, Oleh INDIRA PERMANASARI Pukul enam pagi. Udara sejuk berembus semilir. Saat itulah kehidupan Sedulur Sikep atau lebih dikenal orang sebagai Komunitas Samin di Dusun Bombong, tepatnya di Desa Baturejo, Pati, Jawa Tengah, mulai bergeliat. Dusun Bombong masih lenggang. Hanya sesekali lelaki bersepeda pancal mengangkut keranjang bambu bermuatan penuh rumput lalu lalang, atau petani yang berjalan menuju garapannya. Tidak terlihat anak-anak yang bergegas pergi ke sekolah di ruas jalanan berdebu desa itu. Dian (12), putri Gunritno salah satu Sedulur Sikep di Dusun Bombong, sibuk membantu ibunya, Hartati. Mulai dari memakaikan baju adiknya terkecil sampai di sore harinya pergi ke tempat pengupasan gabah. Karung berisi gabah itu disampirkan di sepeda mini tuanya yang ia tuntun ke tempat pengupasan. Sementara anak laki-laki mulai belajar menggarap sawah. Alam menjadi guru, sedangkan petak-petak sawah dan ladang menjadi sekolah mereka. Anak-anak Sedulur Sikep di Dusun Bombong umumnya memang tidak menempuh pendidikan di sekolah formal. Seperti yang dikatakan Widodo, salah seorang pemudi dusun itu, begitu dirinya sudah mampu mengangkat jeriken air, saat itu pula mulai membantu menyirami tanaman di kebun. Sepanjang usianya yang sudah enam belas tahun, Widodo mengaku belum pernah mengecap pendidikan di sekolah. Umumnya, para perempuan di sana menikah dalam usia muda atau belasan tahun. Dalam kisah sejarah kelahiran komunitas pengikut Samin Surontiko yang berlatar gerakan perlawanan nonkekerasan para petani terhadap penjajahan Belanda sejak tahun 1890-an itu, konon penolakan terhadap sekolah formal menjadi bagian dari strategi. Dusun Bombong sendiri seperti terungkap dalam tulisan M Uzair Fauzan, Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme; Dalam Praktik Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasus Komunitas Sedulur Sikep, merupakan bagian dari perjalanan sejarah gerakan Samin. Hasil pemetaan sosial yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pati tahun 2003, Sedulur Sikep yang mendiami Dusun Bombong berjumlah 123 keluarga, terdiri atas 633 jiwa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro, Uzair Fauzan menuliskan, dari 633 jiwa warga Sedulur Sikep hanya satu yang menempuh pendidikan di SD. Pada zaman pergerakan, Sedulur Sikep menolak memasukkan anak mereka ke sekolah lantaran khawatir bakal menjadi antek dan bekerja bagi penjajah. Kini, Gunritno, misalnya, memiliki alasan tersendiri. Pendidikan formal baginya sama saja dengan sinau atau belajar. Dalam pandangan Gunritno, mereka pun bersekolah, hanya bedanya pendidikan diberikan langsung oleh orangtua dan keluarga. Selain itu, sejumlah tokoh Sedulur Sikep juga khawatir pendidikan formal di sekolah kelak menjauhkan anak-anak mereka dari kehidupan bertani. Sekolah ditakutkan hanya membuat orang ingin menjadi pegawai yang menerima uang dan tidak mau lagi bekerja tani. Mbah Sampir yang juga memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya malah balik bertanya: untuk apa bersekolah formal? ”Sekolah malah nanti minteri orang. Sing korupsi iku wong pinter atau bodo?” tanyanya. Desakan pemerintah agar Sedulur Sikep menyekolahkan anak-anak mereka bukan tidak ada. Untuk menyukseskan gerakan wajib belajar sembilan tahun misalnya, Gunritno sendiri pernah mengaku terpaksa menempuh pendidikan dasar sampai kelas enam SD. Tetapi kemudian Gunritno beserta adik-adiknya memutuskan ramai-ramai keluar dan tidak melanjutkan sekolah. Pelajaran dalam hidup bagi mereka ialah menggarap bumi atau bertani. Para petani Sedulur Sikep sebagian masih punya lahan sendiri, walaupun ada yang menggarap tanah orang lain. Tidak ada keinginan menjadi pegawai negeri atau karyawan yang dibayar. Apalagi berdagang kulakan yang merupakan profesi pantangan. Keinginan mengambil untung dalam berdagang ditakutkan menggiring Sedulur Sikep bertindak tidak jujur. Ini sama saja melanggar prinsip lugu. Namun, Sedulur Sikep tidak berpantang menjual hasil tani mereka karena dianggap jelas asal-usulnya. Istilah yang digunakan pun bukan menjual melainkan ijol atau barter. Namun, belakangan muncul kesadaran di kalangan para generasi muda di dusun tersebut untuk melestarikan budaya mereka. Salah satunya, belajar menulis dan membaca huruf Jawa agar kelak dapat menuliskan buah pikiran mereka. Gunarti, salah seorang warga di sana, menyempatkan diri mengajari anak-anak belajar huruf Jawa. Belajar bahasa Jawa itu sekaligus strategi mengurangi porsi menonton televisi. Sebab, dengan tidak pergi ke sekolah maka tayangan televisi yang hadir hampir di seluruh rumah sederhana Sedulur Sikep menjadi santapan anak-anak di waktu senggang. Tontotan seperti Dora The Explorer dan Spongebob yang digemari anak perkotaan juga menjadi konsumsi sehari-hari mereka. Bagaimana dengan sistem di luar komunitas Sedulur Sikep yang kerap mengukur keterdidikan seseorang dengan ijazah sekolah formal? Bagi Gunritno, Sedulur Sikep harus siap dengan risikonya. Bagi mereka, bersekolah formal atau tidak bukan soal baik atau buruk, melainkan pilihan yang dianggap sesuai dengan tujuan hidup mereka. Bahwa, kepuasan tak selalu diukur dengan perolehan materi. Ini seperti tercermin dari ungkapan sejumlah warga Bombong tentang tujuan hidup mereka. Karjo, salah seorang pemuda Sedulur Sikep di Dusun Bombong, mengatakan, tujuan hidupnya ialah dapat menuruti orangtua, rukun dengan teman dan kerabat. Kalau bisa sugih iku sugih eling, begitu kata Karjo menirukan pesan orangtuanya. Eling dalam artian selalu ingat bahwa dirinya berasal dari orangtuanya sehingga tidak boleh membantah kata-kata orangtua. Jawaban serupa dilontarkan oleh warga lain, Tolan (50). Perbedaan Seiring perubahan zaman, dalam menyikapi tantangan hidupnya itu kaum Sedulur Sikep yang kini tersebar di beberapa daerah punya warna-warninya tersendiri. Ajaran Samin memang tidak tamat sepeninggal Samin Surontiko, melainkan berkembang melalui jalur anak, mantu, dan teman sepaham. Sejak tahun 1945, gerakan Samin terus dihidupkan oleh Engkrak sampai di Pati, Kudus, dan Bojonegoro. Pandangan tentang pendidikan formal, pantangan berdagang, dan kesetiaan bertani akhirnya terletak kepada interpretasi masing-masing komunitas Sedulur Sikep. Untuk melihat warna- warni tersebut disempatkan pula mengunjungi komunitas Sedulur Sikep yang bermukim di Kudus dan Bojonegoro. Di Desa Larik Rejo, Kudus, misalnya, Santoso—salah seorang tokoh generasi muda di sana—sudah mulai menyekolahkan anak-anaknya. Tujuannya sederhana. Biar bisa baca tulis saja, supaya nanti tak repot, katanya. Santoso juga tak mengharamkan kegiatan berdagang sepanjang tidak menipu. Untuk menghidupi keluarganya, dia juga terkadang berdagang. Mbah Hardjo Kardi, pemuka Sedulur Sikep di Desa Jepang, Bojonegoro, punya pandangan berbeda untuk persoalan pendidikan formal. Desa Jepang yang berada di kawasan terpencil di tengah hutan jati itu sudah mengenal sekolah sejak 1970-an. Mbah Hardjo sendiri yang merintisnya. Waktu itu sekolah mulai dibutuhkan karena setelah kemerdekaan dibutuhkan orang-orang pintar. Apalagi yang membiayai sekolah sekarang bukan penjajah, tetapi orang negeri sendiri alias pemerintah, begitu pandangan Hardjo Kardi. Anak-anak Mbah Hardjo semua bersekolah. Salah satunya yang tamatan SMP bahkan bekerja menjadi pegawai negeri sipil di kantor kecamatan. Namun, kehidupan bertani dan menggarap lahan tetap merupakan mata pencaharian utama para Sedulur Sikep di Desa Jepang. Perbedaan cara pandang ini di sisi lain meresahkan sejumlah pemuda di Bombong yang menginginkan kemurnian kembali ajaran Samin. Dari berbagai pembicaraan dengan generasi muda di dusun itu, sempat mencuat berbagai kekhawatiran hilangnya identitas komunitas Sedulur Sikep seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi. Kalau suatu ajaran sudah jadi tujuan dan pilihan maka harus siap menanggung risiko seperti apa pun agar tidak luntur. Tetapi akhirnya, bergantung pada masing-masing, kata Gunritno, generasi muda Sedulur Sikep di Dusun Bombong. Sekalipun demikian, menyelami alam berpikir mereka, tetap terlihat jelas benang merah yang menyatukan komunitas-komunitas Sedulur Sikep. Pandangan tentang tugas manusia untuk sikep rabi atau bercinta dan dari sanalah manusia berasal, hingga kini tetap dipegang teguh oleh mereka. Termasuk kejujuran untuk mengakuinya.



http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/kolom/artikel_cetak.php?aid=7413

Ketika Tonil Klosed menyikapi Sikep

Ketika Tonil Klosed menyikapi Sikep



Sikep, sebuah lakon terbaru Kelompok Tonil Klosed Solo, tadi malam (15/07) tuntas dipentaskan. Bertempat di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, naskah lakon ditulis dan sekaligus disutradarai pementasannya oleh Sosiawan Leak.
Lakon Sikep sebagaimana judulnya memang mengangkat persoalan tentang komunitas sedulur Sikep atau Samin yang terkenal itu.
Sosiawan Leak bersama Klosed agaknya juga “tergoda” untuk menjadikan komunitas unik di Jawa ini sebagai sumber inspirasi karya mereka. Sesuatu yang sebenarnya telah lebih dulu dilakukan oleh kalangan ilmuwan sosial di wilayah pengkajian dan penelitian keilmuan mereka.
Gerakan perlawanan terhadap kekuasaan semacam yang dilakukan Kyai Samin Surosentiko memang masih menggelitik beberapa kalangan, termasuk seniman. Perlawanan oleh yang lemah atau minoritas terhadap kuasa yang lebih besar adalah tema yang seksi yang juga telah menggoda Sosiawan Leak. Tak mengherankan jika penampilan lakon Sikep tadi malam juga begitu “genit” ditampilkan oleh Klosed.
Bentuk perlawanan Kyai Samin Surosentiko berbeda dengan Che Guevara, Tan Malaka atau siapapun yang kerap jadi symbol perlawanan terhadap kekuasaan. Masing-masing punya karakter sendiri dan hal tersebut tampil dari sikap tokoh dan pengikutnya.
Kyai Samin Surosentiko mengobarkan perlawanan terhadap tirani bukan secara fisik tetapi kekuatan batin dan intelektual. Bahasa menjadi menjadi media mengekspresikan perlawanan sedulur Sikep terhadap penguasa. Bahasa menjadi ruang kuasa menentang kesewenang-wenangan lewat pemaknaan-pemaknaan yang terkandung di dalamnya.
Hal tersebut bersenyawa dengan pesan substantif yang didengung-dengungkan yang meliputi jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Negara Batin
Perlawanan orang Samin adalah merebut ruang demi untuk membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni.”
Tapi Sikap dan karakter demikian itulah yang kurang bisa ditampilkan oleh Klosed. Gaya pemanggungan yang banyak membangun bentuk komposisi blocking pemain dan sesekali adegan akrobatik membuat “riuh” pertunjukan mereka.
Selain itu, warna vokal dan artikulasi pemain yang cenderung seragam dan berteriak membuat pertunjukan kehilangan suasana kontemplatifnya. Padahal untuk memahami ajaran Kyai Samin Surosentiko dibutuhkan ruang tenang bagi penonton untuk mengeja makna gerakan sedulur Sikep.
Bagaimanapun, Kelompok Tonil Klosed agaknya memang lebih memilih sikap untuk mementaskan Sikep sebagai sebuah pemaparan kronik-kronik perjalanan gerakan Kyai Samin Surosentiko dan Sedulur Sikep. Sebab hampir di setiap adegan selalu ditandai penyebutan tanggal maupun tahun peristiwa-peristiwa masa itu. Sebuah visualisasi sejarah yang cukup menggelitik dan menghibur yang berhasil ditampilkan Klosed.


http://kabarsoloraya.com/2009/07/16/ketika-tonil-klosed-menyikapi-sikep%E2%80%A6/

Representasi dalam Spiritualitas Sedulur Sikep

Representasi dalam Spiritualitas Sedulur Sikep



"Kang Kongkon Kang Nglakoni," menjadi judul video komunitas berdurasi 15 menit yang melibatkan komunitas Sedulur Sikep sebagai partisipan selama workshop berlangsung. Akbar pun menjelaskan latar belakang pembuatan video dokumenter komunitas Sedulur Sikep bermula dari kegelisahan Sedulur Sikep mengenai pembuatan film "Lari Dari Blora" yang banyak mengandung permasalahan etika dan representasi. Proses pembuatan film "Lari Dari Blora" menyisakan "ganjalan" di benak sedulur sikep. Pada saat film itu dibuat, pemimpin proyeknya mengklaim bahwa telah mendapatkan izin pembuatan film dari Mbah Tarno, salah seorang sesepuh sedulur sikep. Setelah film itu diputar, sedulur sikep menganggap banyak ilustrasi yang rentan dengan stigma masyarakat Samin, serta tidak sesuai sepenuhnya dengan apa yang mereka yakini selama ini. Misalnya, dalam film itu sosok sedulur sikep digambarkan sebagai seorang pekerja tambang. Padahal selama ini matapencaharian sedulur sikep adalah bertani, dan bagi mereka bertani bukan sekadar matapencaharian, tapi lebih pada keyakinan hidup.

Menurut salah seorang pengunjung, Deni, bahwa mulai tahun 70-an masalah objektivitas-subjektivitas dan representasi mulai diperdebatkan, terutama di dunia fotografi. Ada suatu penyiasatan bagi fotografer untk bermain-main secara visual sebagai penanda kehadiran mereka atas karya-karyanya. Mereka ingin menegaskan bahwa karya mereka bukan sebuah hal yang natural, tapi memang dikreasikan, dan ada intervensi Si fotografer. Mereka ingin melawan keyakinan gambar sebagai alat prejudice. Tetapi memang tidak bisa disangkal bahwa foto dan film adalah sebuah jendela dialog. Dan audio visual lebih kuat untuk melakukan representasi.
Pada kesempatan yang sama Dony menambahkan jika beberapa waktu yang lalu ia pernah didatangi oleh komunitas kepercayaan Sunda kuno. Menurutnya mereka juga tidak mepublikasikan kitabnya secara tertulis, tapi cukup memberikan skripnya secara lisan. Bisanya agama-agama di tanah Jawa meniscayakan bahwa keyakinan adalah sebuah gagasan spiritual yang tidak terpisah dengan perilaku. Aksara itu adalah perbuatan/perilaku, sama dengan Zen Buddism yang juga meyakini pemahaman tindak-tanduk. Perbedaan dengan agama samawi bahwa ada gagasan yang dituliskan kemudian menjadi panduan. Ada gagasan suci kemudian dituliskan, kemudian tafsir kebenaran bisa dilakukan secara personal dengan dengan hanya memegang kitab, tanpa harus berkomunal. Komunitas seperti Samin akan menolak sebuah gagasan yang dimaterialisasikan dalam bentuk tulisan sebagai representasi, karena mungkin dianggap berpotensi mengegoistikkan spiritualitas manusia. Ajaran srawung mengasah hubungan manusia dengan manusia, bukan manusia dengan Tuhannya.


http://www.desantara.org/page/information/essay-articles/2233/Representasi-dalam-Spiritualitas-Sedulur-Sikep

Kelompok Minoritas dan Strategi Non-Konfrontasi : Refleksi Lapangan di Komunitas Sedulur Sikep dan Parmalim

Kelompok Minoritas dan Strategi Non-Konfrontasi : Refleksi Lapangan di Komunitas Sedulur Sikep dan Parmalim






Sejak reformasi, perubahan telah banyak terjadi di jagad politik Indonesia. Krisis ekonomi yang berujung pada pendongkelan kekuasaan Soeharto telah menggerogoti banyak sendi kekuatan negara. Negara yang dulu pernah sangat adidaya, yang oleh sebagian peneliti disebut sebagai power-house state, sekarang harus menerima suratan takdir bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya kekuatan yang bermain dominan di ranah publik. Di tengah kebangkrutan negara itu, masyarakat sipil memperkuat barisannya dan memperkenalkan banyak perubahan ke dalam sistem politik.



Dengan banyak panduan dari transitologi, atau ilmu tentang transisi menuju demokrasi, perubahan-perubahan itu banyak diarahkan pada pembenahan dalam politik pemilihan (electoral politics) dan penguatan institusi-institusi negara agar benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, juga perlu disebut berdirinya lembaga-lembaga negara baru yang diyakini akan memperkuat transisi menuju demokrasi dan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara, seperti Mahkamah Konstitusi. Muncul keyakinan bahwa penguatan institusi-institusi tersebut diperlukan untuk menjamin keberadaan saluran yang bisa digunakan oleh warga negara untuk menyuarakan kepentingan dan hak-hak mereka.



Dalam perjalanannya, berbagai komunitas warga negara memang terbukti menggunakan jalur-jalur tersebut untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan terbukanya saluran-saluran demokrasi itu, pilihan bergerak semakin beragam. Bila warga tidak puas dengan keputusan pemerintah, militer atau kelompok pemodal, terbuka kesempatan luas untuk menggugatnya dengan model citizen law suit, pengadilan tata usaha negara, atau judicial review. Bagi orang awam, keberadaan saluran hukum yang berjalan relative sangat transparan itu membuat warga negara semakin memiliki keberanian untuk menentang secara langsung pemerintah atau kelompok pemodal yang merugikan hak-hak mereka. Sekarang, kita bisa menemukan berbagai kasus dimana orang-orang awam, yang sebelumnya hampir tidak memiliki kepercayaan di depan hukum dan tidak memiliki pengalaman berurusan dengan hukum secara langsung, tiba-tiba bangkit melawan kesewenang-wenangan di pengadilan. Kasus paralegal kaum miskin kota, ibu-ibu rumah tangga yang membela anak-anaknya yang tidak lolos UAN hanyalah beberapa contoh yang bisa disebut untuk menggambarkan perubahan itu.



Tapi, apakah inklusivisme system hukum yang sekarang muncul itu sudah dimanfaatkan oleh semua kelompok masyarakat? Bagaimana dengan kelompok minoritas yang sekian lama dipinggirkan oleh kebijakan negara yang enggan memberi status kewarganegaraan penuh kepada mereka? Apakah mereka juga mengambil langkah yang sama dengan berhadapan langsung dengan negara untuk menuntutnya berubah? Jika tidak, factor apakah yang menyebabkan mereka enggan melakukannya? Apakah karena mereka tidak well-informed tentang perubahan kontemporer dalam system hukum di negara ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak saya bahas dalam tulisan singkat ini. Tulisan ini adalah hasil refleksi saya setelah bergaul dengan komunitas sedulur sikep di daerah Pati (Jateng) dan komunitas parmalim di Medan.



Komunitas Sedulur Sikep Pati

Salah satu komunitas sedulur sikep di Pati bermukim di dusun Bombong-Bacem, desa Baturejo, kec. Sukolilo. Menurut laporan hasil pemetaan sosial yang dilakukan oleh Dinas Sosial kabupaten Pati pada Juli 2003, sedulur sikep yang mendiami dusun Bombong-Bacem berjumlah 123 KK dan 633 jiwa. Namun, menurut pemetaan yang dilakukan sedulur sikep sendiri, per Desember 2004 ada 148 KK dan 706 jiwa. Jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk desa Baturejo yang berjumlah 5752 orang, total jumlah sedulur sikep di desa ini berkisar 10 persennya (Uzair Fauzan, Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme dalam buku Hak Minoritas, Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Interseksi, 2005).



Meski kebanyakan tidak mengenyam pendidikan sekolah formal, tak sedikit warga Sikep yang memiliki kemampuan baca-tulis (pergi sekolah formal sendiri merupakan pantangan yang dipegang teguh oleh komunitas ini). Kemampuan baca tulis ini biasanya diperoleh dari orang tua langsung atau mengikuti pendidikan informal yang digagas oleh warga Sikep sendiri. Dengan kemampuan ini, mereka tidak kesulitan memperoleh informasi dari media cetak atau televisi. Akses terhadap informasi semakin mudah karena pergaulan (srawung) luas yang mereka miliki dengan komunitas luar (sedulur liyo toto-coro). Keberadaan Kang Gunritno sebagai figur yang punya banyak relasi di luar komunitas sangat membantu komunitas ini mencerna perubahan. Relasi dan jaringan yang dia miliki sangat beragam, mulai dari birokrat dan politisi lokal Pati, seniman seperti Emha atau Slamet Gundono, akademisi dan aktivis/pekerja sosial nasional, hingga gubernur Mardiyanto.



Meski dia sendiri aktif mengambil bagian dalam berbagai ikhtiar pemecahan berbagai persoalan politik, sosial dan ekonomi petani, termasuk di antaranya menjadi “pejabat” Serikat Petani Pati (SPP) yang sangat aktif melakukan program-program pemberdayaan, namun hampir bisa dipastikan bahwa dia dan sedulur sikep lain yang aktif di Serikat yang sama tidak akan pernah tampil di depan publik menghujat pemerintah secara terbuka laiknya para aktivis sosial dan demonstran. Kalaupun harus menyuarakan kritik dan berhadapan dengan pemerintah, wajah Kang Gun jarang sekali menampakkan pengencangan otot-otot lehernya. Alih-alih tegang, ia sampaikan kritiknya secara tenang dan acapkali dibumbui dengan sanepo (perumpamaan/metafora) yang kaya.



Di tingkat internal komunitas, strategi yang cenderung mengutamakan harmoni itu juga acapkali bisa kita temukan, terutama jika menyangkut kesalahpahaman antara kelompok muda dan kelompok tua. Kaum muda disini dimotori oleh Kang Gunritno, sedangkan kaum tua dipersonifikasikan oleh sosok Mbah Tarno. Seperti yang sudah disebut, kaum muda dibawah kepemimpinan Kang Gunritno punya pergaulan luas dengan berbagai kalangan, sedangkan kaum tua lebih banyak tinggal di kampung, mengurusi persoalan keluarga batih, dan ladang pertanian mereka sendiri. Karena pergaulannya yang luas, kaum muda lebih menyerap banyak informasi yang kemudian menjadi dasar bersikap yang ujungnya bisa sangat berbeda dengan sikap kelompok tua. Kaum tua sendiri tak jarang memandang miring aktivisme sedulur sikep yang dibangun oleh Kang Gunritno. “Wong sikep kok ngono” adalah ujaran kaum tua yang sering diucapkan untuk mengomentari aktivisme itu. Untuk menjembatani perbedaan sikap di antara kedua kelompok ini, biasanya ada sekelompok warga yang akan berperan sebagai penyeimbang yang sering disebut oleh kalangan sedulur sikep di Bombong-Bacem sebagai penamping. Penamping inilah yang berperan sebagai messengerulang-alik di antara keduanya. Dalam banyak hal, peran yang dimainkan oleh penamping ini berperan besar menjaga iklim persaudaraan di komunitas ini.



Komunitas Parmalim di Medan

Kelompok Parmalim yang disebut di sini adalah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Punguan Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi Laguboti. Seperti namanya, komunitas ini berpusat di Huta Tinggi, Laguboti, Kab. Toba Samosir. Meski ada beragam versi yang mengatakan bahwa komunitas ini melakukan percampuran adat Batak dengan ajaran-ajaran agama besar, namun komunitas ini sendiri meyakini bahwa ajaran mereka berasal dari Si Singamangaraja XII yang kemudian diteruskan oleh Raja Mulia Naipospos.



Sekarang ini, jumlah keluarga Parmalim diperkirakan tak kurang dari 5000 KK yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Kelompok jemaat atau cabang mereka juga mulai berkembang. Jika pada tahun 1994, ada sekitar 30 punguan yang resmi diakui oleh Huta Tinggi dan 4 punguan lainnya masih belum diresmikan, angka itu mengalami peningkatan pada tahun 2000. Di tahun ini sudah ada 36 punguan di seluruh Indonesia, mulai dari Jakarta, Batam, Palembang dan terutama tersebar di berbagai kota lainnya di Sumatera Utara. Angka penyebaran yang meningkat ini erat terkait dengan semangat manombang, yaitu semangat merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, yang juga tertanam dalam komunitas ini. Manombang ini sendiri ditopang oleh pandangan hidup komunitas yang mendorong penerimaan terhadap perkembangan jaman yang baru, asalkan tidak mengorban nilai-nilai spiritual Batak.



Menurut Monang Naipospos, ada tiga nilai yang disebutnya sebagai “motto” yang memandu orang-orang Parmalim dalam berhadapan dengan perkembangan jaman (modernitas). Ketiganya adalah parbinotoan naimbaru (menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber daya manusia), marngolu naimbaru (menerima perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban tanpa melanggar etika sosial sesuai tuntutan ajaran Ugamo Malim), dan tondi na marsihohot(tetap bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon melalui ajaran Sisingamangaradja-Raja Nasiakbagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain). Dengan pandangan hidup ini, tak heran jika kita menemukan banyak warga Parmalim yang mengenyam pendidikan modern hingga perguruan tinggi dan bekerja di berbagai perusahaan terkenal, seperti Standard Chartered Bank atau Freeport.



Walhasil, dunia luar yang dibentang dan terbentang luas itu (kecuali di sektor kepegawaian pemerintah) bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi warga komunitas minoritas ini. Sedikit berbeda dengan komunitas Sikep, hampir tidak ada perbedaan antara kaum muda dan kaum tua menyangkut respons terhadap modernitas (termasuk institusi-institusi modern seperti sekolah). Kendati begitu, bila muncul persoalan dengan komunitas luar, respons mereka cenderung serupa. Seperti yang terjadi dalam kasus sengketa pembangunan bale parsaktian di daerah Air Bersih Ujung kelurahan Binjai, Medan.



Alih-alih menyelesaikannya di depan hukum, komunitas Parmalim Medan selalu memilih untuk memaksimalkan lobi dan pendekatan dengan berbagai kelompok yang menentang pembangunan itu. Bertolak belakang dengan kelompok penentangnya yang selalu mengandalkan (imaji) kekuatan massa, komunitas Parmalim memanfaatkan jalur-jalur personal dan informal. Jalur-jalur personal-informal itu tidak hanya ditujukan pada actor-aktor partikelir seperti pendeta HKBP Air Bersih, HKBP Pusat dan berbagai organisasi gereja yang berkaitan dengan HKBP; tetapi juga kepada representasi negara seperti Lurah Binjai atau Dinas Tata Kota. Katanya, mereka bahkan dengan tegas menolak usulan kolega mereka untuk melakukan gugatan hukum kepada negara.



Refleksi

Dalam kajian gerakan sosial, biasa dikenal adanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan atau tidak memungkinkan aktor sosial untuk bergerak. Struktur kesempatan politik (political opportunity structure) itu didefinisikan oleh Sidney Tarrow sebagai “consistent—but not necessarily formal, permanent, or national—signals to social or political actors which either encourage or discourage them to use their internal resources to form social movements” (dalam Keck and Sikkink, Activists Beyond Borders: Transnational Advocacy Networks in International Politics, Cornell University Press, 1998). Struktur kesempatan politik itu dikenal terbagi dua, yaitu yang bersifat statis dalam pengertian berkait dengan kelembagaan negara (bersifat eksternal terhadap aktor gerakan) seperti terbukanya system politik, transparansi pengadilan; dan struktur kesempatan politik yang bersifat dinamis, yang erat terkait dengan kondisi internal di dalam aktor-aktor gerakan (masyarakat sipil) itu sendiri, seperti lemah/kuatnya solidaritas, aliansi, dan sejenisnya. Gerakan sosial yang berhasil biasanya memiliki dua bentuk struktur kesempatan itu.



Bila ditempatkan dalam bingkai analisis ini, perubahan sistem politik yang terjadi pascareformasi sebenarnya baru menyumbang salah satu syarat keberhasilan gerakan sosial. Bila ingin benar-benar berhasil, gerakan sosial juga harus ditunjang oleh syarat lainnya, yaitu kekompakan internal di dalam masyarakat sipil itu sendiri. Syarat kedua ini sendiri masih harus ditunggu hasil akhirnya. Sekilas, hasil sementara menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Memburuknya situasi masyarakat sipil, yang antara lain bisa dilihat dari meningkatnya premanisme dan menguatnya gelombang fundamentalisme, tentu saja menciptakan ancaman tersendiri bagi mereka yang ingin memperjuangkan haknya, terutama kelompok minoritas. Dengan status minoritasnya yang rentan (entah karena jumlah warga yang minimal maupun identitas yang rentan dipukul karena trauma [politik] masa lalu), kelompok seperti sedulur sikep dan parmalim tampaknya secara strategis sengaja memilih strategi non-konfrontasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.



Latar belakang sosial dan pandangan hidup dua komunitas ini, dua faktor minimal yang diurai di tulisan singkat ini, menunjukkan secara jelas bahwa keduanya mengambil strategi non-konfrontatif BUKAN KARENA mereka tidak punya sumberdaya untuk melakukan strategi konfrontatif. Dengan akses mereka yang terbuka pada informasi, sulit dibantah jika mereka tahu betul soal perkembangan mutakhir sistem politik atau sistem hukum di negeri ini. Strategi non-konfrontatif mereka bisa jadi diambil karena dua hal (1) pandangan hidup mereka yang mementingkan harmoni; atau (2) mereka tidak yakin bahwa masyarakat sipil yang menjadi rekan kerja mereka belum cukup kuat untuk menanggung resiko yang mungkin muncul jika mereka melakukan strategi konfrontasi. Strategi konfrontatif bisa jadi menempatkan keselamatan komunitas sebagai taruhannya, harga yang bisa jadi dianggap terlalu mahal untuk dibayar oleh komunitas ini.



Bila asumsi ini benar adanya, barangkali harus dilakukan pembagian peran dalam gerakan untuk memperjuangkan status kewarganegaraan yang sejajar bagi komunitas minoritas. NGOs dan kelompok masyarakat sipil non-komunitas minoritas bisa mengambil peran lebih besar pada konfrontasi terbuka di depan hukum, seperti uji materi terhadap produk perundangan yang membatasi pengakuan resmi hanya pada 6 agama saja; pada saat yang sama, komunitas minoritas lebih banyak berperan dalam penguatan jaring-jaring informal dengan berbagai komunitas mayoritas lain yang berpotensi menjadi kawan sekaligus lawan, seperti pondok pesantren atau gereja. Dalam konteks ini, strategi kultural menjadi sama pentingnya dengan strategi reformasi hukum.




http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/strategi_non_konfrontasi_kelompok_minoritas.html

Jabat Erat Sedulur Sikep

Jabat Erat Sedulur Sikep



Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki Kecamatan Sukolilo. Setelah beberapa kali tikungan dan jalan menurun, sampailah kami di mulut gang menuju Dukuh Bombong.

Atas saran Hermanu, tujuan pertama kami adalah rumah Mbah Sampir. Lelaki tua berusia di atas 70 tahun yang ditokohkan oleh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong.

Sayang disayang, Mbah Sampir ternyata tak sedang di rumah. Sebagai gantinya, istri, anak, cucu, menantu dan saudara Mbah Sampir lainnya yang membentuk puak di sekitar rumah Mbah Sampir menyambut kami dengan hangat.

"Nepangaken, pangaran njenengan sinten?"
"Saking pundi?"
"Ra� sami seger kawarasan toh?"

Begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut keturunan Mbah Sampir, tak kecil tak besar, tak tua tak muda. Sambil memegang erat tangan tamunya, mereka berucap dengan tegas dan lugas perihal nama dan asal tamunya, serta tak lupa harapan agar sang tamu dalam keadaan sehat wal afiat.

Selanjutnya, setelah saling berkenalan, sebagian anggota keluarga Mabah Sampir menyingkir, sebagian lainnya ada bersama kami. Salah satunya, adalah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Gunarti, adiknya Mas Gunritno.

Gunarti perlu menyebut nama Gunritno, sebab itulah nama yang menurutnya sudah dikenal, setidaknya oleh teman-teman seperjalan saya: Beni, Agus, dan Hermanu.

Padahal, ayah Gunarti yang bernama Wargono sebetulnya juga cukup terkenal sebagai salah satu tokoh Sedulur Sikep. Sebagai orang yang baru kenal, saya tentu saja tak berani lancang bertanya mengapakah ia justru memperkenalkan nama kakak dan bukan nama ayahnya.

Umur cuma satu, buat selamanya

Setelah bertukar kabar, mulailah kami bertanya-tanya.

"Gimana kemarin, apakah Sedulur Sikep menerima dana kompensasi BBM?" tanya Mas Hermanu."Untuk soal itu, kami kalis," jawab Gunarti. Mas Hermanu langsung menerjemahkan istilah kalis. Katanya, kalis itu adalah seperti daun keladi yang tak basah oleh air yang ada bersamanya. Menurut Gunarti, lebih baik dana kompensasi itu diberikan kepada warga lainnya yang lebih membutuhkan.

Gunarti mengatakan, kendati warga Sedulur Sikep cukup berat menanggung beban hidup lantaran semua harga kebutuhan naik, tapi ia dan Sedulur Sikep lainnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, ujar Gunarti, sawah yang ia harapkan bakal memberinya berkarung-karung gabah bulan depan, ternyata terendam banjir.

Obrolan pun.. ah ya, saya hampir lupa, "obrolan" adalah kosa kata yang paling dihindari Sedulur Sikep untuk sebuah perbincangan. Sedulur Sikep lebih suka menyebut perbincangan dengan istilah rembugan. Sebab katanya, rembugan itu adalah perbincangan yang akan menghasilkan sesuatu. Sedangkan ngobrol, lebih banyak menghasilkan kesia-siaan.

Dari pengertian ini, karenanya Sedukur Sikep senantiasa serius jika diajak berbincang-bincang. Seperi di siang itu. Gunarti pun dengan seksama menyimak pertanyaan-pertanyaan saya dan teman lainnya.

"Maaf, umur Mbak berapa sekarang?"
"Umur saya satu, buat selamanya," jawab Gunarti.
Mendengar jawaban Gunarti, saya pun jadi salah tingkah. Saya mulai bertanya kepada Mas Hermanu, bagaimana caranya menanyakan soal umur kepada Sedulur Sikep.

"Waktu anda lahir, kira-kira pas zaman apa ya Mbak?" tanya saya setelah mendapat bisikan dari Mas Hermanu.
"Menurut kedua orang tua, saat menikah saya berusia 16 tahun. Sekarang usia anak saya yang pertama sudah 16 tahun, jadi kurang lebih 29 tahun," jawab Gunarti.

Anda yang belum mengenal Sedulur Sikep, boleh jadi akan berprasangka yang macam-macam mendengar penuturan Gunarti. Padahal, ujar Gunarti, mengapa para Sedulur Sikep selalu menjawab begitu tiap kali ditanya berapa umurnya, adalah karena semata mereka takut berbohong.

"Bagaimana saya bisa menjawab dengan tepat kalau saya tidak tahu apa-apa saat saya lahir?" tambah Gunarti.
Hmm... sebuah logika yang tak terbantahkan bukan?

"Sekarang kegiatan Mbak Gunarti apa?" saya melanjutkan pertanyaan.
"Tiap hari saya pergi ke sawah. Hari Minggu saya ke pasinaon..."
"O, jadi guru juga toh?"
"Ah tidak. Saya nggak mau disebut guru. Guru itu kan digugu lan ditiru. Sementara saya, belum tentu perbuatan saya bisa digugu (dipercaya) dan ditiru," ucap Gunarti merendah.

Pendeknya, lanjut Gunarti, yang penting dirinya bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah sebab, tiap hari MInggu, sekitar 15 anak-anak Sedulur Sikep mendapat pengajaran dari Gunarti tentang baca dan tulis serta budi pekerti.

Kegiatan belajar mengajar ini, menurut Gunarti, dimulai sejak anak-anak
mulai berpikir dan bertindak. "Bukankah anak bisa jalan, bisa bicara, itu orang tua yang mengajari. Karenanya, apabila kita ingin anak-anak kita berperilaku baik, ya harus diajari sejak dini," tutur Gunarti.

"Yang utama dari pembelajaran itu adalah mebcike kelakuan (meluruskan perbuatan). Sebab kita kerap keblasak-keblusuk (tersesat)," tandas Gunarti.

O ya, perlu Anda ketahui, wahai pembaca yang budiman, anak-anak Sedulur Sikep itu memang tidak bersekolah secara formal. Nah, orang semacam Gunarti ini, karena dipandang pintar, maka dia berkewajiban membagi ilmunya kepada anak-anak dari keluarga Sedulur Sikep.

Buat Sedulur Sikep, ada dua hal yang mereka hindari dalam hidup. Yakni, bersekolah (formal) dan berdagang (mencari margin). Sekolah, kata mereka, membuat orang jadi pintar. Setelah pintar, manusia bisanya cenderung membohongi sesamanya. Begitu juga dengan berdagang. Biasanya, dalam mencari untung para pedagang itu suka mengabaikan nilai-nilai kejujuran.

Karena itu, profesi yang dipilih oleh Sedulur Sikep adalah bertani. Jika pun harus menjual hasil pertaniannya, Sedulur Sikep biasanya akan berpatokan pada harga yang berlaku di masyarakat.

Makan siang dengan nasi jagung

Meski sudah diganjal soto bangkong di Semarang pagi tadi, toh perut langsung keroncongan manakala mata melihat sajian yang digelar di atas meja di rumah Mbah Sampir.

Di meja kini ada nasi jagung, botok, lodeh terong, tempe goreng, goreng ikan kutuk, dan telor goreng. Setelah tuan rumah mempersilakan kami menyantap hidangan, kami pun secara bergantian mengambil hidangan yang tersaji.

Saya dan Franky mengambil nasi jagung plus botok yang di dalamnya terdapat anakan ikan kutuk. Rasanya...hmmm... yummy betul. Lain benar rasanya dengan masakan orang Jakarta yang sudah terkontaminasi dengan unsur kimia sejak masih ditanam hingga ketika dimasak.

Inilah kiranya rasa makanan yang dihasilkan dengan cara yang berbeda dengan masakan kebanyakan. Bahkan sejak sebelum padi ditanam hingga setelah padi dipanen, mereka selalu mengupayakannya dengan doa atau biasa disebut dengan istilah brokohan. Tujuannya, ujar ayah Gunarti (Wargono) untuk kebaikan manusianya dan juga kebaikan yang ditanam.

Perihal sajian di rumah Mbah Sampir itu, perlu Anda ketahui juga, adalah salah satu cara Sedulur Sikep menghormati tamu-tamunya. Oleh karena itu jangan heran, jika sekali waktu Anda berkunjung ke keluarga Sedulur Sikep, selain disuguhi minum dan nyamikan, Anda juga akan disuguhi makan.

Makanya saat lepas dari Semarang Mas Beni wanti-wanti, siapkan perut Anda sebelum datang ke rumah para Sedulur Sikep. Sebab, bila dalam satu hari kita datang ke lima rumah, boleh jadi kita akan diberi sajian makan berat sebanyak lima kali pula.

Tentu, mereka pun tak akan memaksa Anda untuk makan hingga kenyang. Tapi, alangkah baiknya jika Anda merasakan juga apa yang mereka hidangkan sebagai simbol penghormatan terhadap tuan rumah.

"Memangnya Mbah Sampir punya kolam ikan ya Mbak," tanya saya kepada Mbak Gun.
"Ah, nggak," jawab Gunarti.
"Trus ikan ini dari mana?" sambung saya.
"Dari sawah."
"Maksudnya, piara ikan di sawah?"
"Bukankah di mana pun ada air, di situ selalu ada ikannya," ujar Mbak Gun sambil tersenyum.

Ah, kembali saya tertohok oleh logika yang tak terbantahkan dari Mbak Gun. Coba bayangkanlah..., ikan dan air..., bukankah mereka bagian dari semesta yang mestinya memang berpasang-pasangan?

Sedang saya merasai bolak-balik ketohok oleh ucapan Gunarti, mendadak Mbah Pasmi (istri Mbah Sampir) berucap, "Tambah lo, Mas..."

Sebelum saya mengiyakan atau menolak, tiba-tiba saya ingat pesan Mas Beni supaya jangan kelewat kenyang makan di satu tempat. Sebab setelah ini, bisa jadi tiga atau empat rumah bakal kami kunjungi lagi.

He he he..., demi menghormati tuan-tuan rumah yang bakal saya kunjungi, saya pun mengekang tawaran Mbah Pasmi dengan ucapan "maturnuwun". Padahal..., botok dan nasi jagungnya itu...hhmmm, enaaak tenan. Sungguh.



http://www.infoanda.com/linksfollow.php?li=www.kompas.co.id//gayahidup/news/0601/30/170845.htm

KISAH Ketika Sedulur Sikep Ingin "Beli" SIM : Ora Isa Maca, Soale Diwacakna Wae

KISAH Ketika Sedulur Sikep Ingin "Beli" SIM : Ora Isa Maca, Soale Diwacakna Wae





Sejumlah orang dari Sedulur Sikep asal Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati bergotong-royong membuat sumur bor. (57)

Selalu ada cerita menarik dari komunitas Sedulur Sikep. Pemegang adat Samin Surosentiko di Sukolilo, Pati itu, misalnya, punya kisah saat ingin mengurus surat izin mengemudi (SIM). Syarat memakai celana panjang menjadi persoalan karena dianggap melanggar adat. Inilah catatannya.

Numpak motor ora nganggo kathok dawa, apa ya motore terus mogok? (Naik motor tidak mengenakan celana panjang, apakah motornya langsung mogok?)

ITU adalah sepenggal kata protes atau penyesalan dari seorang warga Sedulur Sikep, saat diberi tahu bahwa ujian SIM harus mengenakan celana panjang.

Sedulur Sikep yang oleh orang awam sering disebut sebagai masyarakat Samin, lekat dengan cap terbelakang, aneh, dan terisolasi, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, jika diamati lebih dekat, masyarakat yang masih memegang teguh adat leluhurnya, Samin Surosentiko ini, tidak seperti anggapan pada umumnya.

Buktinya, mereka terbuka mengikuti sejumlah aturan pemerintah, selagi tidak bertentangan dengan tata cara yang melandasi kehidupannya.

Saat ini, mereka sudah mulai memenuhi apa yang menjadi kewajiban warga negara kebanyakan.

Di antaranya, mau membayar pajak, memiliki KTP, dan ingin pula memiliki surat izin mengemudi (SIM).

Namun, dari berbagai pengalaman sejumlah Sedulur Sikep, mereka mengaku masih diperlakukan beda atas eksistensinya.

Salah satunya adalah dalam hal pengurusan KTP. Untuk memenuhi sederetan isian dalam KTP yang salah satunya menginformasikan tentang agama yang dianut, Sedulur Sikep masih mempersoalkan.

Jadi Polemik

Pasalnya, agama yang mereka anut adalah Adam. Di mana, agama tersebut belum diakui oleh negara. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang terpaksa dicatat beragama Buddha atau Islam, hanya untuk urusan KTP.

Hal lain yang berhubungan dengan aturan negara, sampai saat ini masih menjadi polemik di tingkat masyarakat Samin sendiri, adalah masalah SIM.

Secara kebutuhan, mereka memang telah sadar dan harus memilikinya.

Sebab, sebagian Sedulur Sikep juga memanfaatkan alat transportasi seperti sepeda motor ataupun mobil. Kepemilikan SIM mutlak harus dipunyai agar tidak selalu tersandung dengan aturan berlalu lintas.

Tidak Masalah

Dalam hal ini, salah seorang Sedulur Sikep yang berdomisili di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Gunritno mengaku tidak masalah jika harus memenuhi aturan lalu lintas.

Hanya saja, dia meminta agar dalam pengurusannya, mereka tidak dipaksa meninggalkan tata cara yang dianutnya.

Ada lima tata cara yang tidak boleh dilanggar oleh Sedulur Sikep, yakni memiliki istri dua, mengenakan peci, mengenakan celana panjang, menyekolahkan anaknya secara formal, dan berdagang.

Kelima aturan yang diturunkan oleh leluhurnya, Samin Surosentiko, tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Nek memang tata cara iki dilanggar, berarti dheweke ora Sedulur Sikep meneh (jika tata cara ini dilanggar, maka dia sejatinya bukan Sedulur Sikep lagi)," ujar Gunritno saat ditemui di rumahnya.

Nah, khusus menyikapi pengurusan SIM, belakangan ini menjadi perbincangan di Satlantas Polres Pati.

Karena, sempat ada seseorang yang mengaku orang Samin, ingin mengajukan permohonan SIM secara massal. Dalam hal ini, Gunritno sangat mendukung.

Dia pun meminta agar pihak kepolisian dapat memahami salah satu tata cara yang dianutnya, yakni tidak bercelana panjang. "Wis akeh Sedulur Sikep sing dianggep ora sopan, lan dikongkon salin pakaian wektu arep nggawe SIM (sudah banyak Sedulur Sikep yang dianggap tidak sopan dan disuruh ganti pakaian saat akan membuat SIM)," jelasnya.

Kondisi demikian, kata dia, sama artinya tidak melindungi dan melestarikan komunitas adat terpencil (KAT), tetapi justru sebaliknya.

Sementara untuk persoalan tes yang harus dilalui sebelum mendapatkan SIM, Gunritno berpendapat, hal tersebut dapat disesuaikan dengan kemampuan masyarakatnya.

"Tes kanggo golek SIM ora mesti kudu nganggo cara ngono. Isa uga dicara macakna soal kang ana, dadi isa dingerteni (tes untuk membuat SIM tidak harus memakai soal yang ada. Bisa juga dengan cara soal yang ada dibacakan, jadi bisa dimengerti)," jelasnya.

Kapolres Pati melalui Kasatlantas AKP Arifin Renel yang didampingi Kanit Regident Iptu Sugino mengaku, masih mencari alternatif untuk melayani permohonan SIM dari masyarakat Samin. Sebab, saat ini pihaknya dalam posisi dilematis.

"Jika tidak melalui tes, jelas tidak sesuai prosedur, dan jika melalui tes, kesulitannya pada kemampuan pemahaman mereka atas soal yang ada. Jika soal dibacakan, jelas akan memakan waktu lama, karena harus satu per satu," kata Iptu Sugino.

Karena itu, lanjutnya, perlu dibuat formulasi yang tidak melanggar aturan, serta dapat diterima berbagai pihak dalam menyikapi keadaan ini.



http://www.suaramerdeka.com/harian/0704/07/nas04.htm

KTP Sedulur Sikep ’tanpa’ agama

KTP Sedulur Sikep ’tanpa’ agama


Setelah sekian lama menolak membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebanyak 119 warga "Sedulur Sikep" yang berada di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, bisa bernafas lega. Sebab, warga Sikep yang notabene memeluk agama Adam kini bisa memiliki KTP tanpa harus menyebutkan identitas agama yang diakui pemerintah.
KTP bagi warga Sikep tersebut secara simbolis diserahkan Bupati Kudus H Musthofa kepada sesepuh "Sedulur Sikep ", Mbah Wargono, kemarin.Komunitas Sikep akhirnya bersedia membuat KTP setelah Bupati memberi kebijakan khusus mengenai pencantuman status agama.
"Secara pribadi saya cukup bangga karena baru kali ini penganut "Sedulur Sikep" bersedia membuat KTP," kata bupati.
Sebagaimana diketahui, komunitas "Sedulur Sikep" di Kudus masih memegang kuat keyakinan nenek moyang.Termasuk dalam pembuatan KTP, warga Sikep enggan mengikuti kebijakan pemerintah karena dalam pembuatan KTP harus menyebutkan salah satu identitas agama yang diakui pemerintah. Sementara, kaum Sikep sendiri hanya mengakui agama Adam yang telah dianutnya secara turun menurun.
Bupati sendiri mengeluarkan kebijakan khusus ini dengan alasan para kaum Sikep juga warga Kudus, sehingga mereka tidak boleh mendapat perlakuan diskriminasi dan harus didekati secara bijaksana.
"Saat ini para Sedulur Sikep sudah mulai terbuka atas kebijakan pemerintah. Dan saya harap "Sedulur Sikep" juga memberi dukungan terhadap kebijakan lain yang bersifat untuk kepentingan masyarakat, " kata Musthofa.
Koordinasi Depdagri
Sementara, Kepala Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Kudus, Alia Himawati mengatakan, untuk membuat KTP khusus bagi "Sedulur Sikep", pihaknya harus berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri. Sebab, untuk tidak mencantumkan agama dalam KTP perlu ada kunci akses khusus yang hanya bisa dilakukan Depdagri.
"Sebab, jika salah satu data seperti agama tidak dicantumkan, data penduduk tidak akan bisa diakses," ujar Alia.
Namun dengan kunci akses khusus tersebut, Kantor Capilduk bisa membuatkan KTP dengan tanpa mencantumkan agama. Meski pada database yang ada, agama tetap dicantumkan.
"Untuk KTP yang dipegang warga, tidak dicantumkan agama. Namun, di data Capilduk, agama tetap dicantumkan meski berupa kepercayaan pada Tuhan YME," kata Alia. Tom-ip





http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=38381&Itemid=35

Kulo Ndiko Sami - Sedulur Sikep

Kulo Ndiko Sami - Sedulur Sikep



Saminisme, merupakan bentuk politik kesadaran sedulur sikep. Pada mulanya, nyamin adalah gerakan sosial menentang penjajahan belanda. Tak puas dengan pematokan hutan jati, Samin Surosentiko (sang pemimpin) dan para pengikutnya membangkang dengan cara menolak membayar pajak. Sejak itu, wong samin dituding nyleneh. Urusan KTP misalnya, hingga kini kebanyakan wong samin mengosongkan kolom agama. Mereka bersikeras telah memiliki keyakinan sendiri yang disebut "Agama Adam".
Karena generasi mudanya jarang yang menempuh pendidikan formal, wong samin pun sering dianggap terbelakang. Sayang, orang luar kerap salah tafsir, konstruksi sosial wong samin yang kaya idealisme, justru jamak dipinggirkan. Wong samin terkenal menjunjung kesetaraan. Filosofi "sami-sami amin" menegaskan, sedulur sikep lahir dari sebuah kesepakatan sosial. Wajar jika tak pernah ada konflik kelas, hubungan majikan dan buruh, seperti dalam masyarakat kapitalis, lantaran telah terhapus oleh lembaga gotong royong.
Akibat tegangan budaya dengan negara, wong samin terancam tak mendapatkan hak penuh sebagai warga negara. Perkawinan dan kelahiran anak wong samin, jarang bisa tercatat dalam lembaran negara.
Aturan tak semestinya memberangus keberagaman. Minoritas adat semacam wong samin, mutlak diberi ruang. Apalagi jika di tengah kegersangan modernitas, lokalitas justru mampu menawarkan kearifan.




http://andynovianto.multiply.com/video/item/3/Kulo_Ndiko_Sami_-_Sedulur_Sikep

Pengalaman Dialektis Sedulur Sikep Tolak Semen Gresik

Pengalaman Dialektis Sedulur Sikep Tolak Semen Gresik



Jika sebelumnya salah seorang kerabat di sini, menulis tentang etnografi marketing, kali ini akan disuguhkan etnografi dalam bentuk lain. Etnografi selama ini mungkin hanya digunakan sebagai laporan bagi penelitian antropologi untuk melacak sejarah, struktur sosial dan makna simbol dalam suatu masyarakat tradisi (lokal). Kebutuhan etnografi di kalangan intelektual selama ini hanya menjadi intelectual exercise (kegenitan intelektual) berupa tulisan-tulisan dan buku yang pada dasarnya tidak mempunyai kontribusi positif dan konkrit bagi subjek yang ditelitinya.

Salah seorang nama pencetus ide etnografi adalah Snock Hurgronje sebagai salah seorang etnograf klasik yang dengan latar intelegen, justru memanfaatkan penelitian etnografinya bagi kebutuhan kolonial dalam menertibkan masyarakat lokal (Aceh). Boleh dikatakan ilmu etnografi ini juga bagian dari metoda kolonial dalam menjinakkan kaum pribumi dalam siasat sosial yang efektif, selain melalui ancaman senjata dan penguasaan aset ekonomi. Warisan bahasa-bahasa kolonial tersebut, masih berkeliaran di kehidupan akademis kita sampe hari ini, tercampur baur antara mana yang nyata dan mana yang manipulasi !!!

Bagi kaum positifistik memandang secara naif bahwa ilmu pengetahuan itu adalah netral. Sesungguhnya korelasi kepada manusia lah yang kemudian menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi relatif. Sehingga sebagai basis artikulasi, pengetahuan mengandung keberpihakan berserta kekuasaan didalamnya. Peran strategis ilmu pengetahuan inilah yang kemudian menjadi relefan untuk direfleksikan, selain pengetahuan sebagai alat identifikasi dalam merumuskan realitas, pengetahuan juga mengandung kekuasaan. Menurut Foucault alam pengetahuan terdapat kaidah kekuasaan dalam klaim keberannya, sehingga pengetahuan itu sendiri pada dasarnya dapat membatasi tindakan-tindakan dalam ketegori-kategori, disiplin dan tertib lainnya.

Bahasa ! mungkin adalah awalnya. Pengalaman inilah yang kemudian juga dijadikan awal kesadaran oleh para kaum pergerakan kita. Lahirnya kata pemuda, merdeka, nasionalisme sampai dengan sosialisme, membawa kesadaran baru masyarakat pribumi di awal abad XIX untuk bisa lepas dari kungkungan alam pikir kolonial yang membelenggu kehidupan manusia Indonesia pada saat itu. Mungkin dari bahasa pulalah yang kemudian dapat menterjemahkan kondisi eksploitasi dan eksistensi dari hubungannya dengan lingkungan dan sesamanya Indonesia untuk bisa menentukan nasibnya sendiri. Sebaliknya dari bahasa pulalah masyarakat pribumi Indonesia pernah didikte oleh kekuasaan kolonial, untuk melanggengkan praktek imperialisme di Indonesia. Sejauh ini warisan bahasa kolonial Belanda masih beredar dalam keseharian masyarakat kita, sebagai bentuk endapan dalam mitos dari intensitas praktek kekuasaan yang mengkonotasikan bahasa.

Bahasa tentu didalamnya tersirat bentuk kekuasaan. Dari semangat inilah yang kemudian dalam refleksi pergerakan Indonesia berusaha mencari subyektifitasnya untuk keluar dari batas kapitalisme dan sosialisme yang menyempitkan kecerdasan dan artikulasi dari entitas masyarakat Indonesia. Dalam prespektif politik Soekarno dan Tan Malaka adalah salah satu nama yang mampu mengorganikkan bahasa ideologi dalam karakter sosiologi masyarakat Indonesia. Sehingga sebagai alat produksi pengetahuan, bahasa menjadi alat efektif dalam menggerakkan kesadaran masyarakat beserta perubahan sosialnya.

Merumuskan ulang definisi penindasan, plus metoda perlawanannya dalam konteks masyarakat lokal menjadi relevan dalam proses transformasi masyarakat ketika berhadapan tekanan globalitas modal. Pengalaman-pengalaman pendampingan di masyarakat Sedulur Sikep yang sedang menghadapi pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati Jawa Tengah, merupakan pengalaman dialektis dalam membentuk bahasa bersama diantara pihak masyarakat yang mengalami marginalisasi beserta kelompok pendamping yang melakukan advokasi atau pembelaan.

Asumsi-asumsi yang dibangun oleh para kaum intelektual dan akademisi, seringkali justru menciptakan jarak antara gagasan dengan realitas yang dialami masyarakat. Paradigma ilmiah yang notabena berasal dari positivistik seringkali memberikan jarak kesadaran antara realitas yang dialami oleh masyarakat, dengan gagasan yang dibangun oleh advokat atau para pendamping dalam melakukan proses transformasi kepada masyarakat. Jarak bahasa yang membawa pada jarak kesadaran inilah yang kemudian tentu berdampak pada hubungan pihak yang mengadvokasi dengan masyarakat yang di bela (direpresentasikan), nampak sebagai hubungan lawyer (pengacara) dan klien, sehingga akan berdampak pada problem representasi, ketergantungan, claiming, bahkan sampai pada persoalan yang sangat manipulatif sekalipun. Pengalaman advokasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat yang termarginalkan di era Orde Baru adalah satu catatan dari gagalnya gerakan sipil yang masih menyisakan hubungan lawyer-klien. Sehingga problem-problem dan konflik struktural yang terhadi di akar rumput tidak menghasilkan proses transformasi dan edukasi bagi rakyat dalam mengapresiasikan dan menterjemahkan realitasnya sendiri.

Hubungan lawer-klien pada dasarnya adalah proses penangan permasalahan di masyarakat dengan menyerahkan penyelsaian sepenuhnya pada pihak yang mengadvokasi. Kosa kata bahasa yang digunakan dalam merumuskan realitas pada pola hubungan top-down ini, lebih banyak kosa kata yang tidak bisa mengorganikkan kesadaran masyarakat. Jarak bahasa dengan kesadaran masyarakat inilah yang kemudian bisa diidentifikasi dari struktur sosial lawyer-klien, yang kemudian menghasilkan bahasa yang tidak mem-bumi bagi kesadaran masyarakat.

Pendekatan advokasi dalam pola hubungan lawer-klien biasanya menggunakan cara pandang fungsional dengan mengasumsikan realitas penindasan sebagai tidak berfungsinya suatu sistem yang ada. Tanpa mengasumsikan adanya kondisi konflik kepentingan dari strata sosial yang ada, paham fungsionalisme ini memberikan jawab-jawab penyelsaian masalah sesuai dengan peran legal-formal yang terdapat dalam pranata sosial politik yang ada.

Proses transformasi yang dilakukan oleh beberapa pihak stake holder (LSM, Universitas, Institusi Lingkungan, dan lain sebagainya), memiliki agenda sektoral masing-masing, yang selama in belum maksimal dikomunikasikan serta diposisikan secara etis dengan pihak masyarakat maupun diantara kelompok pendamping yang mengadvokasi. Bahasa-bahasa sektoral seringkali justru memperkuat hubungan lawer-klien, karena peran sektoral yang bersifat legal formal dalam menangani permasalahan advokasi di masyarakat. Tanpa harus meninggalkan hal taktis dalam menyelsaikan permasalahan di masyarakat, peran kultural menjadi penting sebagai bagian dari pendekatan edukasi bagi masyarakat dalam membangun kesadaran akan realitas penindasannya.

Pengalaman pembelaan dan pendampingan masyarakat Sukolilo Pati Jawa Tengah, merupakan satu daru dialektika masyarakat lokal yang sedang menghadapi ekspansi modal global PT Semen Gresik (sekitar 40% saham asing), sesungguhnya adalah usaha menemukan bahasa bersama sebagai bagian proses transformasi. Selain bahasa bersama juga merupakan bagian dari sikap etik dan representasi hubungan antara pihak pendamping dengan masyarakat Sukolilo itu sendiri yang hak nya terancam dari adanya pembangunan pabri Semen Gresik.

Sedulur Sikep merupakan salah satu entitas di Sukolilo Pati yang sedang mengalami ancaman pendirian pabrik Semen Gresik. Dampak lingkungan dirikannya pabrik Semen Gresik yang berasal dari keberadaan gunung Kendeng yang tidak hanya sebagai sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) masyarakat Sedulur Sikep yang bermata pencaharian bertani, pegunungan kapur tersebut juga memiliki makna budaya dan sejarah bagi masyarakat Sedulur Sikep yang memiliki ekologi kultural nya sangat berelasi dengan lingkungan (gunung). Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo Pati memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng.

Kesadaran masyarakat lokal Sukolilo Pati yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng. Di sekitar situs watu payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah pewangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat Watu Kembar yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar. Selain kisah pewayanga juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan Angling Dharma di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada gua Jolotundo yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam Syeh Jangkung yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati. Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjungan yang hadir di beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.

Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat di Sukolilo Pati. Dalam prespektif ekologi sosial, mitologi lokal tersebut mereduksi alam menjadi bahasa masyarakat (kebudayaan) yang berbasis lokalitas. Sehingga menjadikan lingkungan (pegunungan) bukan saja memiliki kekuatan ekologi pertanian (mata pencaharian), namun juga terdapat kekuatan budaya yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Kisah-kisah tersebut akan menjadi kekayaan ekologi, sejarah dan budaya bangsa, selama situs-situs mitos yang berada di pegunungan Kendeng tetap eksist dan dijadikan sebagai basis material kesadaran ekologi dan budaya masyarakat.

Proses transformasi akan lebih produktif ketika bisa merumuskan bahasa bersama antara nalar advokat dengan nalar masyarakat lokal yang termarginalkan. Asumsi ilmiah tentang pegunungan Kendeng yang memiliki nilai Krast No 1 menurut penelitian ASC (Acintyacunyata Speleological Club), dimana kekuatan Krast sebagai basis ekologi bagi kehidupan pertanian dan lingkungan di masyarakat sekitar, pegunungan Kendeng juga memiliki kekuatan kultural yang mengikat kebudayaan masyarakat luas. Proses edukasi pentingnya gua, air, dan pegunungan bagi keseimbangan alam dan lingkungan, harus mampu dibahasakan dengan modal budaya yang melekat dalam kesadaran sejarah masyarakat. Pengalaman pelatihan para legal masyarakat Sukolilo Pati yang menolak Semen yang dilakukan pihak Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan pihak Akademis, masih menyisakan bahasa-bahasa legal formal yang masih sulit ditangkap dalam kesadaran masyarakat lokal. Selain kosa kata bahasa ilmiah juga menyisakan proses advokasi yang lebih mengarah pada jalur legal formal, bahasa ilmiah tersebut juga masih memiliki jarak dengan kesadaran masyarakat lokal. Pendekatan bahasa ilimiah ini lah yang kemudian nantinya akan menjadikan proses advokasi yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, dimana proses legal formal menyisakan hubungan lawyer-klien, bersama bahasa-bahasa ilmiah yang tidak mampu diakses modal budaya dan kesadaran masyarakat lokal.

Strategi pendekatan kultural hendaknya juga menjadi strategi yang harus dijalankan sebagai sebuah usaha dari pemaknaan situasi konfilik sebagai alat transformasi, serta proses kesadaran mengorganisir dirinya sendiri di kalangan masyarakat lokal. Dengan meyakinkan masyarakat lokal untuk mampu membangun kekuatannya sendiri, beserta bahasa nya sendiri akan menjadikan proses advokasi dan pembelaan hak tidak lagi digantungkan oleh pihak akademis dan peran lembaga legal formal (lawyer-klien). Mitos-mitos lokal pada dasarnya adalah bahasa kebudayaan yang memiliki korelasi dengan penjagaan keseimbangan lingkungan, karena kisah tersebut mereduksi alam dalam simbol kebudayaan, yang menjadikan nalar budaya identik dengan nalar lingkungan. Beberapa diskusi yang dilakukan oleh Desantara dengan beberapa teman pendamping adalah dengan merumuskan bahasa-bahasa transformasi dan Edukasi yang dekat dengan kesadaran masyarakat lokal, seperti seni pementasan atau pertunjukkan yang dekat dengan masyarakat melalui narasi yang edukatif dan transformatif.



http://antrounair.wordpress.com/2008/08/19/pengalaman-dialektis-sedulur-sikep-tolak-semen-gresik/

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara



Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan jati 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Mulanya ajaran ini disiarkan oleh Samin Surasentiko,—dari namanya pula ajaran dan gerakan tersebut kemudian mendapatkan sebutan Samin–seorang petani jelata dan buta aksara kelahiran Ploso Kedhiren, kecamatan Randublatung, Blora tahun 1859. Konon, sosok ini sebenarnya adalah seorang bangsawan bernama Raden Kohar yang kemudian menyamar menjadi rakyat jelata untuk menyebarkan ajaran yang disebutnya “agama Jawa” atau “agama Adam”. Mulai tahun 1890, Samin Surasentiko (saat itu usia 31 tahun) mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya.

Pengikut Samin meyakini bahwa jauh sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab dan Eropa, dengan membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah terdapat agama tersendiri. “Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah Karmidi menerangkan. Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup “angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “angger-angger pengucap“ (hukum berbicara), serta “angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maknanya, orang harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir berbunyi “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup”.

Adapun yang menarik ialah bagaimana filosofi agama Adam ini membentuk logika berpikir dalam benak orang Samin yang bisa terlihat dari pemaknaan bahasanya. Misalnya seorang Samin ditanya “umur kakek berapa?” Ia akan menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia itu satu. Umur adalah hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya satu umur dan nyawa. Juga yang aneh dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal kata monggo (kata yang mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk), karena menurutnya mereka jika seseorang ingin duduk, yah duduk saja. Juga bagi orang Samin tak perlu menyatakan terimakasih (matur nuwun dalam bahasa Jawanya) karena pihak pemberi memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, bukan berdasarkan permintaan dari seseorang lainnya.
Logika pemaknaan bahasa yang lugas inilah yang membawa gerakan spiritual ini menjadi sebentuk perlawanan pada kesewang-wenangan penjajahan. Beberapa tahun sebelum munculnya gerakan Samin, pemerintah kolonial Belanda melakukan pematokan paksa lahan-lahan pertanian milik rakyat Blora untuk perluasan lahan hutan jati. Rakyat tidak bisa berbuat banyak, juga ketika mereka dibebani pajak atas tanah, ternak dan air serta pembatasan pemanfaatan hasil hutan oleh Belanda pada awal tahun 1900-an. Tindakan ini menyudutkan rakyat pada kehidupan yang penuh tekanan dan ketidakberdayaan. Pada kondisi sosial seperti itulah ajaran Samin datang, seolah membawa penawar.

Sejalan dengan ajaran dasar Samin yang menyatakan “Jawa adalah hak orang Jawa”, dan pandangan bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada hak untuk mengungguli satu di atas yang lain, maka pengikut Samin menolak adanya perbedaan status dalam masyarakat dan penjajahan. Mereka tidak mengakui jabatan struktural dan hirarki sosial, yang salah satunya diekspresikan dengan menolak berbahasa krama (Jawa halus) dan saling menyebut sesamanya “sedulur” (saudara). Dengan ajaran Samin para petani jelata seolah menemukan bahasa bersama untuk melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial.

Alih-alih melakukan gerakan bersenjata, para pengikut Samin mewujudkan perlawanan mereka dengan penolakan membayar pajak, mangkir dari kewajiban meronda dan kerja bakti. Aksi ini dilengkapi dengan pembangkangan kultural berupa penolakan menggunakan bahasa krama (Jawa halus), baik pada sesama mereka maupun perangkat pemerintah kolonial Belanda, termasuk pamong desa dan mandor hutan. Geger samin pun dimulai.
Salah satu bentuk perlawanan mereka yang terkenal adalah melalui pemaknaan bahasa. Sebagai contoh seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta agar orang Samin membayar pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu orang Samin menggali tanahnya serta memasukkan uang ke lubang serta menutup kembali. “mengapa kamu menguburkan uang di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Orang Samin itu menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada bumi, bukan pada penjajah”. Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 juga pernah mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.
+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”
- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (yaitu orang Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”
Selain itu masyarakat Samin seringkali didenda atau masuk penjara karena dianggap sebagai pencuri kayu di hutan jati. Menurut pemerintah mereka adalah pencuri, tapi bagi orang Samin hutan jati tumbuh di bumi, sedangkan bumi adalah milik orang banyak. Sangat wajar jika siapapun boleh mengambil dan menebangnya untuk kepentingan tertentu.
Dalam waktu singkat ajaran spiritual Samin dan bentuk perlawanan kulturalnya tersebar di kalangan petani di sepanjang pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, saat ini mencakup wilayah Blora, Pati, Kudus, Grobogan, Rembang, Sragen di Jawa Tengah dan sebagian Bojonegoro dan Madiun di Jawa Timur. Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro dan berlipat menjadi lebih dari 5000 orang di tahun 1907.

Seiring makin meluas dan intensifnya gerakan Samin, pada tahun 1907 pemerintah Belanda melalui Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo, menangkap Surosentiko dan beberapa tokoh gerakan ini. Mereka diasingkan ke Padang, dimana Samin Surosentiko meninggal pada tahun 1914. Secara sistematis mereka juga melakukan pencitraan buruk pada komunitas Samin sebagai kelompok yang suka membangkang dan bertabiat serta berbahasa kasar. Citra inilah yang kemudian melekat menjadi konotasi kata “samin” dan terwariskan ke beberapa generasi setelahnya. Sesudah tahun 1930 tidak terdapat pemberitaan tentang orang Samin. Baru pada tahun 1950 orang Samin kembali dibicarakan, terutama saat seorang bekas anggota Panitia Pemilihan Umum tahun 1955 untuk kabupaten Blora menginformasikan bahwa jumlah pemilih Samin mencapai 40.000 orang. Perhatian terhadap masyarakat Samin mulai marak dengan adanya upaya dari pemerintah RI untuk memasyarakatkan kaum Samin.



http://archive.kaskus.us/thread/3855381

Pemerintahan: Musthofa, Bupati Pilihan Warga Sedulur Sikep

Pemerintahan: Musthofa, Bupati Pilihan Warga Sedulur Sikep



Memasuki hari kedelapan setelah dilantik menjadi Bupati Kudus per 30 Juni lalu, Musthofa Wardoyo, disertai staf, berkunjung ke rumah tokoh Sedulur Sikep, Wargono, di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Selasa (8/7) siang.

Jawa Tengah (Kompas). Memasuki hari kedelapan setelah dilantik menjadi Bupati Kudus per 30 Juni lalu, Musthofa Wardoyo, disertai staf, berkunjung ke rumah tokoh Sedulur Sikep, Wargono, di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Selasa (8/7) siang.

Sedulur Sikep adalah komunitas yang hingga sekarang menganut ajaran Samin Surontiko asal Blora yang begitu kondang ketika masa penjajahan Belanda. Mereka tinggal dan menyebar di Kabupaten Pati, khususnya di Kecamatan Sukolilo dan di Kecamatan Undaan serta Jekulo, Kabupaten Kudus.

Beberapa jam sebelum rombongan bupati tiba di rumah Wargono, Kompas lebih dahulu datang dan ternyata tuan rumah malah tidak ada di rumah. "Bapak masih di sawah. Sebentar lagi biar disusul anak saya," tutur Ny Wargono.

Setengah jam kemudian, Wargono muncul dan ketika diberi tahu jika Bupati Kudus disertai staf akan mengunjungi dan posisi terakhir telah berada di kantor Kecamatan Undaan, segera menuju kamar mandi.

Istri, anak, dan menantunya cepat-cepat menyiapkan minuman, membeli kue dan memasak. "Mengingat serbadadakan, karena saya tidak diberi tahu, apa yang akan sajikan ya bersifat darurat," ujar Wargono sambil memerintahkan salah satu anaknya, Guntoro, untuk menghadirkan sejumlah warga Sedulur Sikep.

Kurang dari sejam, ruang tamu rumah Wargono yang berukuran 9x5 meter sudah dipenuhi dengan kursi plastik, kursi-kursi panjang terbuat dari kayu, dan rombongan bupati Kudus pun tiba.

Lalu sesuai adat kebiasaan yang berlaku sehari-hari, setiap tamu disalami dan disapa, "Rak yo podho seger kuwarasan to?" Artinya kurang lebih, "Apakah Anda dalam kondisi segar bugar?" Kemudian bupati duduk berdekatan dengan Wargono yang didampingi istri dan keduanya mengenakan pakaian adat serbawarna hitam.

Dalam pertemuan yang penuh keakraban tersebut, Wargono yang mengatasnamakan Sedulur Sikep maupun Dukuh Kaliyoso, menyampaikan unek-uneknya tentang pembangunan jembatan di Kali Juwana yang belum juga terwujud, meskipun sudah pernah dilontarkan permintaan kepada Bupati Kudus periode 2003-2008 Muhammad Tamzil. "Kami berharap, Pak Bupati bersedia membangun jembatan itu yang banyak sekali manfaatnya karena sudah lima tahun tidak kunjung terwujud," ujarnya.

Selain itu, meminta kesediaan Bupati agar segenap Sedulur Sikep memperoleh fasilitas dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), yaitu kolom agama tidak ditulis agama tertentu karena salah satu ajaran Samin Surontiko, agama yang dianut adalah agama Adam (diterjemahkan kepercayaan).

Menurut Wargono, kedua hal tersebut sebenarnya telah dibicarakan sebelum Musthofa terpilih menjadi Bupati Kudus periode 2008-2013. Tepatnya pada masa kampanye, ketika yang bersangkutan mengunjungi Sedulur Sikep yang berkumpul di rumahnya.

"Jane mono koyo dianggap nagih janji, amarga kabeh Sedulur Sikep milih Pak Musthofa lan nyatane dadi tenan. Alesanne para Sedulur Sikep milih Pak Musthofa amargo piyambake rawuh langsung ono kene. Calon liyane ora rene. Aku sak konco arep sowan neng kabupaten, oleh to?" ujar Wargono, selalu dalam bahasa Jawa campuran.

Artinya, "Bagai menagih janji, karena Sedulur Sikep memilih (mencoblos) Musthofa dan akhirnya terpilih. Alasan utama, karena yang bersangkutan datang langsung ke rumah, calon lain tidak pernah datang ke sini. Saya bersama teman-teman akan dolan ke rumah dinas bupati, boleh to?"

Menanggapi permintaan tentang jembatan, pada prinsipnya Bupati Kudus menyetujui dan segera diagendakan untuk ditindaklanjuti, "Menyangkut KTP, saya serahkan kepada Pak Camat Undaan dan ternyata tidak ada masalah. Artinya, bisa segera dilaksanakan," ujar Musthofa yang selalu menebarkan senyum dan berbicara hati-hati.

Keakraban yang dibangun antara diri seorang bupati dengan tokoh dan segenap Sedulur Sikep, menurut Musthofa, bukan sekadar "balas jasa", tetapi merupakan salah satu strategi untuk pembangunan ke depan. "Kejujuran hati dan tindakan nyata dari Sedulur Sikep, bisa kita jadikan contoh," ujar Musthofa.



Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/09/10155919/.musthofa.bupati.pilihan.warga.sedulur.sikep

Mbah Tarno - Sesepuh Sedulur Sikep Meninggal

Mbah Tarno - Sesepuh Sedulur Sikep Meninggal



Sesepuh masyarakat adat Sedulur Sikep Mbah Tarno, Selasa (23/6) pukul14.00, meninggal dunia. Pemakaman secara adat dilakukan hari ini (24/6) pukul 10.00 di makam keluarga, dekat kediamannya Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati.
Seorang kerabatnya, Gunritno mengemukakan, Mbah No, begitu sesepuh Sedulur Sikep itu akrab dipanggil, tidak mengidap penyakit tertentu. Hanya dalam dua hari terakhir sebelum meninggal, kondisi kesehatannya memburuk.


’’Esok mau wis apik. Ora duwe penyakit apa-apa, yo amargo wis sepuh ae,’’ kata Gunritno.
Seperti masyarakat muslim kebanyakan, malam hari dilakukan lek-lekan. Sebelum pemakaman juga dilakukan upacara adat sebagai penghormatan terakhir.


’’Sedulur Sikep Blora lan liyane diwenehi ngerti kabeh,’’ ucap Gunritno yang juga mengaku menyampaikan informasi kepada komunitas masyarakat adat di luar Jawa Tengah, seperti Kanekes.

Sejauh ini, Mbah Tarno bukan hanya dikenal oleh kalangannya. Sejumlah pejabat kerap mampir danmenemuinya untuk sekadar bersilaturahmi atau meminta dukungan dalam berbagai hal, termasuk saat masyarakat ramai menolak rencana pendirian pabrik semen di Sukolilo, Mbah Tarno dikunjungi Gubernur Bibit Waluyo, Bupati Pati Tasiman, serta jajaran direksi PT Semen Gresik.


Di mata Sedulur Sikep, Mbah Tarno menjadi acuan dalam setiap langkah dan perilaku sehari-hari. Setiap ada persoalan, warga Sedulur Sikep yang bermukim di Pati, Kudus, dan Blora tak lepas meminta wejangan darinya.
Mbah Tarno tutup usia pada usia 100 tahun. Dia meninggalkan tujuh anak dan 27 cucu yang saat ini tinggal tak jauh dari kediamannya.



http://st283720.sitekno.com/article/2048/mbah-tarno--sesepuh-sedulur-sikep-meninggal.html

Sedulur Sikep Kembangkan Pupuk dari Urin Sapi

Sedulur Sikep Kembangkan Pupuk dari Urin Sapi



BLORA, SELASA - Komunitas Sedulur Sikep Dukuh Mbalong, Kelurahan Sumber, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mengembangkan pupuk berbahan baku urin sapi sebagai pengganti pupuk urea. Mereka juga membuat obat pembasmi hama sebagai pengganti pestisida dengan bahan baku tembakau, sabun colek, dan kapur.

Tokoh Komunitas Sedulur Sikep Dukuh Mbalong Salim (43), Selasa (10/2) di Blora, mengatakan pupuk pengganti urea dan obat hama pengganti pestisida itu dikembangkan Widji Slamet (21) sejak dua tahun lalu. Upaya itu mampu menghemat pengeluaran para petani Dukuh Mbalong.

"Sekarang saya tidak memakai pestisida lagi, sehingga menghemat Rp 45.000 setiap kali tanam. Saya juga mengurangi pemakaian pupuk urea dari 250 kilogram menjadi 100 kilogram," kata pemilik sawah seluas seperempat hektar itu.

Ramijan (60), petani dari kalangan Sedulur Sikep Desa Mbalong, mengaku mengurangi pembelian pestisida dari enam botol menjadi tiga botol per musim tanam. Ia juga mengurangi pemakaian urea dari enam zak menjadi lima zak per musim tanam.

"Totalnya, saya menghemat Rp 105.000 setiap musim tanam," kata Ramijan yang baru pertama kali mencoba pupuk dan obat buatan Widji.

Menurut Salim, pupuk dan obat buatan Widji tidak mengurangai hasil panen. Selama empat kali musim tanam, produktivitas padinya tidak berkurang, yaitu 15 kuintal.

Meski hasil panen tetap, tetapi pupuk buatan Widji itu mampu menghemat pengeluaran petani di kelompok Sedulur Sikep. "Pasalnya, bahan bakunya ada di sekitar petani sendiri," kata dia.

Secara terpisah, Widji mengatakan pupuk pengganti urea itu merupakan campuran urine sapi, daun lamtoro, kembang pisang, jahe, laos, dan kunir. Pemakaiannya cukup hemat, yaitu dua gelas pupuk cair urin sapi untuk campuran satu tangki penyemprot padi.

Adapun obat pembasmi hama pengganti pestisida terbuat dari tembakau, sabun colek, dan kapur. Ketiga bahan baku itu di rebus selama setengah jam atau tidak sampai mendidih. Setelah disaring, airnya dapat digunakan untuk membasmi sundep atau ulat daun dengan cara disemprotkan.

"Kalau tanaman padi terserang hama, air tembakau yang dicampurkan sebanyak satu liter, sedang kalau tidak terserang, cukup dua gelas saja," kata Widji.

Belakangan ini, Widji sedang mengembangkan pupuk kompos dan tambahan nutrisi nitrogen untuk tanaman padi. Ia membuat bakteri pengurai kompos kotoran sapi dengan campuran teh, gula, nanas, rambutan, belimbing, dan pisang hijau, sedang tambahan nitorgen dengan bahan baku lele dan gula merah.

"Bahan-bahan itu direndam dalam air lima liter selama tujuh hari. Setiap pagi dan sore, campuran bahan itu diaduk. Setelah jadi, dalam cairan itu akan muncul jamur putih berbentuk mirip benang laba-laba," kata Widji.




http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/02/10/19212411/sedulur.sikep.kembangkan.pupuk.dari.urin.sapi..

KTP Sedulur Sikep ’tanpa’ agama

KTP Sedulur Sikep ’tanpa’ agama



Setelah sekian lama menolak membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebanyak 119 warga "Sedulur Sikep" yang berada di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, bisa bernafas lega. Sebab, warga Sikep yang notabene memeluk agama Adam kini bisa memiliki KTP tanpa harus menyebutkan identitas agama yang diakui pemerintah.

KTP bagi warga Sikep tersebut secara simbolis diserahkan Bupati Kudus H Musthofa kepada sesepuh "Sedulur Sikep ", Mbah Wargono, kemarin.Komunitas Sikep akhirnya bersedia membuat KTP setelah Bupati memberi kebijakan khusus mengenai pencantuman status agama.

"Secara pribadi saya cukup bangga karena baru kali ini penganut "Sedulur Sikep" bersedia membuat KTP," kata bupati.

Sebagaimana diketahui, komunitas "Sedulur Sikep" di Kudus masih memegang kuat keyakinan nenek moyang.Termasuk dalam pembuatan KTP, warga Sikep enggan mengikuti kebijakan pemerintah karena dalam pembuatan KTP harus menyebutkan salah satu identitas agama yang diakui pemerintah. Sementara, kaum Sikep sendiri hanya mengakui agama Adam yang telah dianutnya secara turun menurun.

Bupati sendiri mengeluarkan kebijakan khusus ini dengan alasan para kaum Sikep juga warga Kudus, sehingga mereka tidak boleh mendapat perlakuan diskriminasi dan harus didekati secara bijaksana.

"Saat ini para Sedulur Sikep sudah mulai terbuka atas kebijakan pemerintah. Dan saya harap "Sedulur Sikep" juga memberi dukungan terhadap kebijakan lain yang bersifat untuk kepentingan masyarakat, " kata Musthofa.

Koordinasi Depdagri
Sementara, Kepala Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Kudus, Alia Himawati mengatakan, untuk membuat KTP khusus bagi "Sedulur Sikep", pihaknya harus berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri. Sebab, untuk tidak mencantumkan agama dalam KTP perlu ada kunci akses khusus yang hanya bisa dilakukan Depdagri.

"Sebab, jika salah satu data seperti agama tidak dicantumkan, data penduduk tidak akan bisa diakses," ujar Alia.

Namun dengan kunci akses khusus tersebut, Kantor Capilduk bisa membuatkan KTP dengan tanpa mencantumkan agama. Meski pada database yang ada, agama tetap dicantumkan.

"Untuk KTP yang dipegang warga, tidak dicantumkan agama. Namun, di data Capilduk, agama tetap dicantumkan meski berupa kepercayaan pada Tuhan YME," kata Alia.



http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=38381&Itemid=35

Sedulur Sikep Tolak Perubahan Tata Ruang Sukolilo

Sedulur Sikep Tolak Perubahan Tata Ruang Sukolilo



Komunitas Sedulur Sikep yang tinggal di Sukolilo, Pati, secara tegas menolak Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jateng maupun Raperda RTRW Pati. Dalam rancangan itu menyebutkan daerah Sukolilo yang selama ini menjadi tempat tinggal dan pencaharian Sedulur Sikep akan berubah menjadi kawasan industri dan penambangan.

Alasan penolakan itulah yang menjadikan sejumlah orang dari komunitas tersebut, yang dipimpin tokohnya Gunretno, mendatangi Gedung Berlian DPRD Jateng, Rabu (10/3). Mereka bermaksud bertemu dengan panitia khusus (pansus) raperda supaya Sukolilo tetap dipertahankan sebagai daerah agraria.
Namun, kedatangan mereka belum bisa diterima oleh anggota pansus meski sebenarnya sudah melayangkan surat permohonan audensi.

‘’Sebenarnya ada anggota pansus, Pak Haris (Muhammad Haris-Red) mau menemui kami pada Senin lalu. Terpaksa kami menolak, karena yang kami ingin bisa bertemu dengan pansus secara keseluruhan, bukan orang per orang apalagi mewakili fraksi,’’ kata Gunretno.

Dia menjelaskan, komunitas Sedulur Sikep bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Serikat Petani Pati (SPP) pernah menggelar aksi penolakan peralihan tata ruang wilayah Sukolilo di Pemkab Pati belum lama ini. Mereka menyangkal keras kalau Sukolilo bukan kawasan agraria, seperti yang sekarang ini didengungkan pemerintah setempat.
Pegunungan Kendeng Dalam draf Raperda RTRW Pati masa 2008-2027 memasukkan rencana adanya kawasan penambangan di wilayah Pati selatan, meliputi Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo. Pihak pemda berdalih, draf tersebut berubah sepanjang Perda RTRWP Jateng yang sedang dibahas tidak menyebutkan peralihan tata ruang itu.

‘’Oleh karena itu, kami datang ke kantor Dewan ini untuk mencari kejelasan soal RTRWP. Kalau memang benar draf induk menyebutkan ada peralihan tata ruang di Sukolilo, ini akan mengancam keberadaan kami, yang selama ini mengandalkan hasil persawahan maupun air dari Pegunungan Kendeng,’’ lanjutnya.

Pihak Setwan DPRD Jateng menjanjikan pansus dalam waktu dekat akan bertemu dengan masyarakat untuk menyosialisasikan Raperda RTRWP. Anggota Pansus Muh Sukirman menyatakan, khusus Pati kemungkinan besar akhir bulan ini. ‘’Kami membuka pintu diskusi raperda ini. Kami sangat apresiasi dengan Sedulur Sikep yang ingin mempertanyakan raperda ini,’’ katanya.

Sebagaimana diberitakan (SM, 10/3), Raperda RTRWP Jateng menyebutkan adanya perubahan kawasan Sukolilo menjadi daerah industri. Alasan kuatnya daerah tersebut bukan kawasan agraris.




http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/11/101903/Sedulur-Sikep-Tolak-Perubahan-Tata-Ruang-Sukolilo

Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan

Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan




Pedih sudah hati Gunretno. Perjuangan menolak rencana pendirian Pabrik Semen belum mencapai hasil yang diinginkan. Bibit Waluyo sebagai gubernur Jawa Tengah yang terpilih tahun 2008, seperti kekeh (tetap pada pendirian) dengan sikapnya: Ia belum bersedia menggugurkan keputusannya sendiri yang tertuang dalam Keputusan Gubernur, bernomer, 660.1/27/2008, tentang penetapan AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan).

“Tenang Mas Gun, Sedulur Sikep tidak bakal diganggu”, Kata Joko Sutrisno, kepala Bappedal Jawa Tengah. Seperti dihamtam palu, kata-kata ini semakin membuat Gunretno terpukul. Sedulur Sikep tidak diganggu? Gumam Gunretno. Memang siapa sih sedulur sikep? Mbak Tarno adalah sosok yang suka mengggangu pikiran orang. Meskipun badannya ringkih dimakan usia, kata-katanya masih jernih, jelas dan sistematis.

Meskipun sudah terdapat puluhan buku, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah yang ditulis berbagai kalangan, makna sedulur sikep di mata Gunretno dan Tarno justru sering tidak diuraikan oleh tulisan-tulisan tersebut. Anane pabrik semen kuwi dadi keprihatinane wong kabeh sing duwe kepedulian karo keberlangsungane Gunung Kendeng, Kata Gunretno menjelaskan. Opo dulur-dulur kuwi ora dianggep sikep? Endi sing dianggep sikep lan ora kuwi kan gumantung soko opo sing ditindakno awake dhewe.(Apa saudara-saudara yang seperti itu tidak dianggap sikep? Mana yang disebut Sikep dan tidak itu tergantung apa yang dilakukan oleh diri kita sendiri, kata Gunretno menjelaskan.

Menurut Amrih Widodo, identifikasi sikep berkaitan dengan proses transformasi pedesaan sejak zaman kolonial Belanda. Ketika tanah-tanah pertanian dikoloni oleh rezim kolonial, wong sikep (petani) berubah menjadi kuli kenceng (Widodo, 1997). Perubahan ini selain menghilangkan lahan-lahan pertanian yang dimiliki petani, juga menghilangkan status pekerjaan mereka dari petani menjadi kuli (buruh).

Maka tidak mengherankan, pada akhir abad ke-19, perlawanan petani terjadi di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Jawa. Dari Barat, muncul perlawanan petani Banten (yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo sebagai revolusi petani), di Jawa Tengah dan perbatasan Jawa Timur, muncul perlawanan petani yang dimotori oleh Samin Surosentiko. Mbah Samin – demikian ia dikenal, melakukan aksi perlawanan terhadap rezim kolonial waktu itu. Ia memobilisasi petani-petani dari Blora, Bojonegoro, Kudus, Pati, dst, untuk menolak membayar pajak, dan mengikuti aturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pajak kuwi opo? Pajak kuwi papake wong sing jejek. Kata petani-petani ini. Mereka selalu menangkis aturan-aturan yang disampaikan oleh birokrat dan aparatus keamanan pemerintahan Hindia Belanda. Mereka selalu mengajak berdebat dengan memutar dan menangkis penafsiran kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Menjadi bingung dan tidak kuasa melawan perdebatan itu, pemerintah Hindia Belanda menjebloskan mereka ke pen
jara. Tokoh-tokoh mereka dibuang dan diasingkan ke tempat lain. Amrih Widodo, peneliti sosial budaya yang kini menjadi salah satu pengajar di Australian University (ANU) ini menggambarkan perang petani seperti ini sebagai perlawanan melalui medan bahasa, dimana mereka melakukan praktik penafsiran secara jamak setiap kata-kata yang diluncurkan dari pihak lawan.

Amrih Widodo menjelaskan bahwa pendekatan kalangan akademisi sering tergelincir karena narasi yang disampaikan sering merepresentasikan dari kelompok dominan (rezim yang berkuasa dan kepentingannya). Perlawanan petani ini sering dianggap sebagai kelompok liyan, asing, karena cara dan metodenya yang sering dianggap tidak lazim. Misalnya, Karl Jaspers, etnolog Belanda, menggambarkan sikap perlawanan mereka sebagai perangai abnormal, yang bertingkah laku setengah gila. Karena “ketidaklazimannya”—mengutip istilah dari pihak dominan, itu pula, Cipto Mangoenkoesomo mencatat kelompok ini sebagai aliran agama tertentu (sekte) dari komunitas Jawa.

Pada zaman Orde Baru, zaman pembangunan, pemerintah gencar melakukan proyek sekolah-isasi. Orang-orang yang dituding Samin digiring agar mereka tidak lagi melawan, dan bersedia menyekolahkan anak-anaknya. Orang-orang tua mereka diajari beragama, mereka dikawinkan massal, dan diminta memeluk agama yang sudah diresmikan pemerintah. Lukisan tentang orang-orang Samin, selalu dihubungkan dengan keterasingan, abnormal, dan ketertinggalan. “Sudah tidak ada itu, mereka sudah menjadi orang normal, sudah mau sekolah dan bahkan taat beribadah”, kata Harjo Kardi, salah satu tokoh Samin di Blora. Tentu saja karena cap dan stigma seperti ini, beberapa petani yang masih risau dan enggan menempuh pendidikan di sekolah formal semakin terisolasi. Mereka hidup dalam keterbatasan, lebih-lebih ketika petani-petani terjerat oleh sistem tidak peduli dengan kehidupan mereka. Ini adalah sepenggal kisah di dusun Bombong, ketika masa Orde Baru, aparat desa mengaja sedulur sikep untuk menyekolahkan anak-anaknya:

Sikep:Sekolah kuwi butuhe opo?(Sekolah itu gunanya untuk apa?)
Aparat: Butuhe supoyo pinter! (Supaya kita pandai)
Sikep: Lek pinter kuwi intine ben iso ngakali wong, dadek ake wong liyo rugi, sedulur sikep panggonane ora ning kono (
Sikep: Lak lek pinter terus dienggo opo
Aparat: Ben mengko oleh pekerjaan sing luweh apik
Sikep: Lah lek ngono, opo dadi petani kuwi ora dianggep kerjo?

Kisah ini menunjukkan bahwa memilih bidang pekerjaan sebagai petani adalah pilihan penting bagi mereka.

Kini muncul Gunretno. Dalam menjelaskan argumentasinya, Gunretno beranggapan bahwa pabrik semen tidak bisa mensejaterahkan masyarakat Sukolilo dan Pati pada umumnya secara keseluruhan. Pertambangan terhadap Gunung Kendeng dapat menghilangkan fungsi Karst pada batu kapur di areal Gunung Kendeng. Jika Karst hilang, dengan sendirinya hilang sumber-sumber mata air yang sampai saat ini mengairi areal sawah produktif berjumlah lebih dari 5000 Hektar. Selain itu, pertambangan dari pabrik semen akan mengancam keragaman flora fauna yang memiliki fungsi menjaga ekosistem di Gunung Kendeng. Tapi, pemerintah tidak peduli dengan alasan ini. “Saya ini bertanggung jawab terhadap 13 juta penduduk di Jawa Tengah. Fungsi industrialisasi ini adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mensejahterahkan masyarakat”, kata Bibit Waluyo di tengah sidang pertemuan antara warga yang dipimpin Gunretno dengan pemerintah propinsi Jawa Tengah, 11 Januari 2009.

Sebaliknya, kewajiban menjadi petani dan berusaha mencari nilai kesejahteraan sebagai petani tidak difungsikan di Sukolilo dan Pati secara umum. Pemerintah dibutakan oleh fakta, bahwa usaha-usaha Gunretno dan petani lainnya ternyata dapat memajukan kehidupan petani. Sejak tahun 2002, Gunretno aktif membentuk serikat-serikat petani. Serikat-serikat ini berhasil melakukan pompanisasi, perbaikan sistem irigasi, pengadaan pupuk, dan mengorganisasi petani untuk melakukan pertanian organik. “Masalahnya pemerintah sudah tidak pernah mendukung malah mengganggu kerja-kerja yang kita lakukan”, kata Husein, salah satu penggiat Serikat Petani Pati (SPP). SPP tahun 2005 pernah mengelola kredit petani dengan aset mencapai 1 miliar rupiah. Sayang proyek ini tidak bertahan lama, pemerintah tidak mendukung usaha ini.

Alhasil, usaha-usaha petani yang digalakkan Gunretno dan temannya selalu kandas. Berbagai jalan yang ditempuh, kalaupun bisa diwujudkan, selalu kandas tak berusia lama. “Sudahlah, pemerintah diam, tidak mengganggu saja, saya sanggup membuat pertanian di Gunung Kendeng lebih produktif dan bisa mensejahterahkan ratusan kepala keluarga”, jawab Gunretno kesal. Luas lahan Gunung Kendeng yang mau ditanam pabrik semen memang terdiri dari lahan-lahan kering bebatuan. Cocok bagi pertambangan untuk pembuatan semen. “Tapi jika pabrik dibangun, paling banter hanya menyerap 500 tenaga kerja, itupun mereka diperkejakan sebagai buruh”, kata Husein.

Persebaran gerakan petani yang kini ditafsirkan sebagai sikep ini, kini susah diintegrasikan kembali. Mereka menyebar di daerah Blora, Bojonegoro, Kudus, Pati, dan sekitarnya, terkait perubahan besar-besaran situasi pedesaan di Jawa. Di Blora, beberapa penduduk malah terkesan bangga karena kesuksesan pemerintah menghilangkan perangai-perangai petani seperti ini. “Di Kelopo Dhuwur sudah tidak ada kelompok Samin Mas, itu jaman dulu”, kata salah seorang penduduk yang sempat ditemui Desantara. Pada zaman Orde Baru, pemerintah mempromosikan gagasan “kemajuan”. Salah satu indikator kemajuan misalnya, di sektor pendidikan, adanya pemberantasan buta huruf melalui program wajib sekolah. Di sektor agama, kesediaan warganegara menjalankan agama secara baik dan benar. Kedua hal itu terasa menyulitkan sedulur sikep. Di Blora misalnya, anak-anak mereka digiring masuk ke sekolah Inpres yang dibangun di desa-desa mereka. Masjid dan Musholla dibangun untuk meningkatkan kehidupan keagamaan mereka.

Namun terkait dengan program-program ini, revolusi hijau yang dicetuskan pemerintah Orde Baru, justru meningkatkan booming pengangguran di pedesaan. Anak-anak yang sudah sebagian besar malah lari ke kota-kota. Lahan pertanian semakin ditinggalkan, karena harga komoditas nya yang semakin ambruk.

Apakah selamanya mereka akan seperti itu? Kepada siapa pertanyaan ini seharusnya diajukan?



http://desantara.org/page/information/essay-articles/2678/Sedulur%20Sikep,%20Sedulur%20(Saudara)%20yang%20sering%20disalahtafsirkan